Pages

Wednesday, June 6, 2012

Review : Perkara Mengirim Senja




Perkara Mengirim Senja. Saya tertarik membaca karena rasanya akan sangat Indonesia, didedikasikan untuk seorang sastrawan besar dan diungkapkan oleh penulis-penulis muda. 

Book trailer Perkara Mengirim Senja : 




Saya pun sempat bertanya-tanya bagaimana begitu banyak penulis dengan gaya penulisan yang berbeda bergabung di satu buku dan harus ada benang merah dengan cerpen Seno Gumira. Tentunya tidak akan mudah bagi penulis dan juga bagi pembaca. Penulis harus tetap mempertahankan style mereka meski merujuk pada cerpen orang lain. Sedangkan pembaca harus siap menerima keragaman itu dan cepat menyesuaikan diri saat melompat-lompat dalam menyelami kisah-kisah dengan cara bertutur penulis yang berbeda-beda. 


Begitu membuka lembarnya, pembaca sudah disuguhi ilustrasi memikat pada layout dan dilanjutkan dengan kata pengantar yang cukup panjang. Cerpen "Gadis Kembang" milik Vabyo ditunjuk sebagai pembuka. Khas Vabyo sekali. Ia layaknya membuat puzzle utuh, mengacak urutannya dan mengajak pembaca menemukan dan menyempurnakan kembali urutannya dengan 'rahasia' yang terkuak di paragraf akhir. Ya. Masih sama. Ada rima di baris-baris akhir. Vabyo selalu menyenangkan dengan mengajak 'bermain' pembacanya. Dan saat kita sudah lama bermain dan penasaran, Vabyo belum juga mau mengungkap. Saat kesal telah memuncak, Vabyo akan muncul dan mengatakan "Ini loh rahasianya, kamu pasti tertipu, bukan??". Membaca karya Vabyo adalah siap 'ditipu', saudara! :D



Cerita kedua adalah "Perkara Mengirim Senja" milik Jia Effendie. Bagi saya pribadi, cerpen ini juaranya. Mungkin saya rasa karena paling dekat dengan 'gaya yang saya inginkan'. Kental dengan personifikasi dan diksi yang manis dan imajinatif. Penulis memainkan senja sebagai suatu objek hidup yang tak pernah habis diungkap. Saya suka!:)



Kisah ketiga milik Aan Mansyur berjudul "Selepas Membaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Alina Menulis Dua Cerita Pendek Sambil Membayangkan Lelaki Bajingan yang Baru Meninggalkannya". Saya yang ngefans berat dengan cerpen penulis dalam antologi Dari Datuk ke Sakura Emas, merasa cerpen ini berbeda. Kisahnya ditulis dengan banyak sindiran dan ironi tentang kesetiaan, keterbukaan dan rasa saling menghargai yang tak diindahkan. Awalnya saya pikir cerpen akan diakhiri dengan ending yang 'biasa'. Ternyata oh ternyata, saya sampai tertawa miris karena menertawakan diri sendiri yang 'sebegitu bodohnya' dikejutkan ending. :D



"Kuman" milik sang ilustrator, Lala Bohang menjadi kisah keempat. Kisah ini bertema hati yang memiliki dua cinta sekaligus, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda.



Kelima adalah "Ulang" karya Putra Perdana. Menggunakan tokoh Sukab dan Alina milik Seno Gumira, dan diberikannya kemasan berbeda. Tampaknya pembaca harus membaca kisah original Sukab dan Alina terlebih dahulu agar dapat menikmati secara utuh cerita ini.



Lambang Garuda beserta judul "Akulah Pendukungmu" milik Sundea menjadi cerita keenam. Diantara tema cinta sebelumnya, cerita ini terasa nasionalis. Yang unik, pembaca diajak bernyanyi "Garuda Pancasila" terlebih dahulu sebelum mulai membaca kisah. Dan saya pun melakukannya :). Secara penuturan, bergaya lebih sederhana, meski tak mengurangi arti pesan di dalamnya.



Pembaca diajak beranjak pada "Empat Manusia" milik Faizal Reza. Empat bagiannya mengungkap satu persatu kisah empat manusia yang saling berhubungan itu. Menarik minat pembaca melalui cara berceritanya dan ide kisah cinta yang rumit.



Dilanjutkan dengan "Saputangan Merah" milik Utami Diah K, bagi saya kisah ini memiliki kekuatan pada karakter tokoh perempuan yang unik karena jarang diangkat. 



Kisah kesembilan ditulis oleh Mudin Em bernama "Senja dalam Pertemuan Hujan". Cerpen ini terasa modern dibanding kisah-kisah sebelumnya, karena mengambil setting kehidupan metropolis. Ditandai dengan adanya capture pesan singkat serta sepenggal lirik lagu. Namun tetap mengambil benang merah senja dalam pembahasannya.



Mari beralih pada "Kirana Ketinggalan Kereta" oleh Maradilla Syachridar. Saya juga suka dengan cerpen yang satu ini. Bagus, indah, sederhana dan namun cukup mudah dimengerti, yang membuat saya enjoy menikmatinya. Dan dengan mudah mengingatnya kembali.



Theoresia Rumthe menyuguhkan judul "Gadis Tidak Bernama". Membaca kisah ini saya serasa disuguhkan isi hati dan curhatan si perempuan secara kontinyu. Seandainya ending dibuat dengan lebih mengejutkan, saya mungkin akan lebih jatuh cinta dengan kisah ini. 



"Guru Omong Kosong"- Arnellis menjadi cerita kedua belas yang tajam. Banyak sindiran untuk negara yang tersirat, dengan mengambil sudut pandang dari seseorang yang mungkin mewakili sebagian besar penduduk negeri ini.



"Surat ke-93" milik Feby Indirani termasuk jajaran favorit saya. Meski hanya bercerita tentang seorang wanita desa yang merindu lelakinya merantau di kota, namun hampir setiap paragraf tulisan ini mengandung kedalaman makna. Kekuatan itu dibarengi dengan diksi yang indah dan berbeda yang membuat pembaca terkesima. (Congrats mbak Feby!:)) 



Rita Achdris menyuguhkan "Bahasa Sunyi" disini. Banyak ironi ditemukan dalam kisah ini beserta pesan besar yang ingin dikatakan.



"Satu Sepatu, Dua Kecoak" milik Sundea menjadi kisah penutup. Terasa pas sebagai ending yang ringan dan mudah ditangkap, namun tak pernah mengurangi maknanya. Penulis mengemas dengan cara yang berbeda, namun menarik. 



Kumcer ini dikemas dan disajikan baik. Empat bintang rasanya pantas diberikan!:)

No comments:

Post a Comment