Pages

Sunday, March 24, 2013

In The Eye of The Storm

"Jangan Pernah Berhenti Berharap!"

Kalimat itu dituliskan pada masing-masing lembar pertama dari buku "In The Eye of The Storm" oleh sang penulis, Brilliant Yotenega. Baru-baru ini, Mas Ega (begitu, kami anak-anak Nulisbuku Club memanggilnya) menemukan jalan takdirnya menulis sebuah buku. Pada launching yang diselenggarakan 16 Maret 2013 lalu, ia mengungkap bukan hanya tentang apa yang ia ingin kisahkan melalui buku mungil bersampul putih ini, namun juga memberikan 'pengakuan'nya tentang serba-serbi sebagai salah satu founder nulisbuku.com. Mas Ega yang terlihat santai dan apa adanya itu, seolah menggambarkan apa yang ia tulis.


In The Eye of The Storm menjanjikan sebuah kisah nyata tentang sang penulis sendiri, semacam autobiografi. Awal saya membaca sedikit bagian dari ITEOTS adalah dari blog Mas Ega yang ia share melalui akun twitternya menjelang diterbitkannya buku ini. Tidak dipungkiri, judulnya yang cukup unik itu yang mengundang saya untuk menyelami kisah-kisah yang dibagikan. Tak mendapat klu apapun dari judulnya, saya bertandang menuju halaman blog Mas Ega tanpa ekspektasi apapun. Terkejut dan terenyuh yang saya justru dapatkan kemudian. Siapa sangka, di balik sosok seorang Brilliant Yotenega yang saat ini begitu sukses akan bisnis-bisnis yang digelutinya, di masa lalu, ia pernah melampaui begitu banyak rintangan kehidupan. Sekali lagi, kisah ini menjadi afirmasi bahwa "Tak ada kesuksesan yang didapatkan tanpa susah payah.". Melalui ITEOTS, penulis membagikan kisah-kisah hidupnya. Justru bukan seperti kebanyakan orang yang berbagi kisah sukses, namun kisah-kisah saat di mana ia "jatuh". Bukankah selalu ada begitu banyak pelajaran yang diambil dari sebuah masa lalu yang kita anggap 'buruk'? Penulis nampaknya ingin mencoba menyampaikan pesan itu pada pembaca. Pun nampaknya tulisan di buku ini juga sebagai sebentuk pelepasan diri dari kenangan masa lalu yang dimilikinya. 

ITEOTS diawali dengan kisah penulis yang merantau ke ibu kota untuk hidup bersama sang istri. Meninggalkan segala kenyamanannya di Surabaya, ia tak pernah menyangka jika kehidupan yang akan dilaluinya di Jakarta akan sebegitu rumitnya. Himpitan finansial, belum juga mendapat pekerjaan, tak memiliki ijazah universitas, tekanan tanggung jawab terhadap keluarga menjadi tantangan paling berat untuk dirinya. Belum lagi harus menghadapi rasa bersalah, kekecewaan, kehilangan rasa percaya terhadap diri sendiri yang begitu memberatkan. Ia hanya mencoba menyalakan harapan dan keberanian yang terus terkikis. Kepercayaannya terhadap Sang Pencipta yang membuat segalanya menjadi lebih mudah. Mengikuti apa yang tertulis, pembaca dibuat haru namun sekaligus diajak untuk mengambil pelajaran kehidupan yang dibagikan penulis. Kisah digeber penuh tekanan membuat saya tak mampu menghentikan proses pembacaan, kemudian dituntaskan dan diberikan jawaban yang penuh keajaiban di bab akhir.   

Bagaimana seorang Brilliant Yotenega dapat melalui segala halangan itu?

Lantas, "Berapa Harga Sebuah Masa Lalu?" untuk dirinya?

In The Eye of The Storm memberikan jawabannya.

Wednesday, March 20, 2013

Bincang Buku Suara Surabaya FM

"Kejutan Tuhan tak pernah gagal."


Saya sepenuhnya meyakini hal itu. Oleh karena itu, saya enggan untuk berhenti percaya dan yakin akan segala kehendak dan kuasaNya. Tuhan membuktikan sekali lagi kejutan indahnya pada saya. Suatu siang, telepon genggam saya berdering dengan menampakkan sebuah nomor yang tak saya kenal. Meski tak mengenal, saya akhirnya memutuskan untuk menjawabnya. Di seberang sana, seorang wanita dengan nada bicara yang cepat, menanyakan apakah betul ia sedang berbicara dengan Nabila Budayana. Saya menjawabnya "benar". Setelah membutuhkan penjelasan singkat akan profil saya, dengan begitu lugas dan cepat, ia menuju inti pembicaraan. Ia ingin mengundang saya untuk menjadi nara sumber untuk program diskusi bisnis yang dipandu oleh Bapak Kresnayana Yahya. Kali itu, Pak Kresna ingin mengangkat tema perbukuan di Indonesia. Saya diundang dengan kapasitas sebagai penulis, dan bertugas untuk memberikan materi tentang "Faktor-faktor yang mendorong keinginan untuk menulis". Sejujurnya saya sempat bingung, dan berkata pada diri sendiri dalam hati "Mengapa saya yang diundang? Siapalah saya?" Namun, saya rasa, ini kesempatan yang tak akan datang untuk kedua kali. Saya pun tak asal. Dengan mengetahui tema yang harus saya bahas, saya tahu apakah saya mampu atau tidak. Menyadari bahwa saya sempat menyiapkan materi itu sebelumnya untuk acara berbeda, dengan cepat saya pun menyanggupi dan memberikan alamat email untuk menerima undangan secara resmi. Undangan itu menerangkan bahwa saya akan diundang untuk acara "ngobrol-ngobrol" dengan Pak Kresnayana Yahya dan Pak Paulus Tanojo (Store Manager Toko Buku Togamas). Sebagai pengalaman pertama saya untuk on air di radio, saya menyiapkan materi benar-benar. Terutama mengetahui bahwa nara sumber lainnya adalah seorang senior yang ahli di bidang masing-masing. 

Hingga tibalah hari Jumat, 15 Maret 2013. Saya berangkat lebih awal untuk memberi jeda seandainya terhalang macet. Mengingat jarak rumah saya dan Radio Suara Surabaya cukup jauh. Sesampainya, saya disambut oleh petugas front office dan dipersilakan untuk mengisi daftar tamu. Dari daftar itu, saya tahu bahwa saya adalah orang pertama yang hadir. Dipersilakan untuk menunggu di lantai dua, di depan ruang siaran. Saya baru mengerti bahwa ternyata di balik suara siaran yang diperdengarkan dari radio ini, kru yang bertugas jauh lebih banyak. Mengetahui ada seorang 'anak kecil' yang celingukan ke depan ruang siaran, seorang kru keluar dari ruangannya dan menanyai keperluan saya. Saat menjelaskan, seorang laki-laki dan asistennya muncul di belakang saya. Ialah Pak Paulus Tanojo. Saya dan Pak Paulus dipersilakan untuk menunggu di ruang tunggu di balik ruang siaran. Namun, karena saat itu Pak Paulus sedang merokok, saya terpaksa menunggu sendiri di dalam ruang tunggu. 

Sembari membaca Gandamayu, sebuah novel yang ditulis Bli Putu Fajar Arcana, saya menunggu kehadiran Pak Kresna dan on air siaran. Seorang laki-laki membawa baki tiba-tiba masuk ke dalam ruang tunggu dan menyajikan secangkir teh untuk saya. Saya selalu tertawa jika mengingat kejadian ini. Pasalnya, saat meletakkan cangkir teh di meja, ia berkata "Mbak, sedang nunggu bapaknya siaran, yah?" - rupanya, ia mengira saya putri dari Pak Kresna atau Pak Paulus. Saya mencoba menjelaskan untuk keperluan apa saya datang, namun sepertinya ia enggan perduli dengan tetap meminta saya untuk meminum teh yang tersaji di meja. Barulah saat itu saya 'ngeh' bahwa Pak Kresna telah tiba, bahkan telah siap dengan headset di ruang siaran bersama Pak Paulus. Yap, saya nyaris ditinggal, saudara-saudara! :) Untunglah, sang penyiar baru saja membuka acara dan saya segera muncul di pintu siaran yang terbuat dari kaca. Dengan bingung, saya menunjukkan ekspresi "Saya belum terlambat, kan? saya boleh masuk?" sembari menggerak-gerakkan tangan untuk menunjukkan keberadaan. Pak Kresna yang menyadarinya, langsung dengan ramah melambai pada saya, pertanda mempersilakan saya untuk masuk.

Tepat saya selesai duduk dan memasang headset pada telinga, saat itu juga siaran dimulai. Saya duduk di tengah-tengah Pak Paulus dan Pak Kresna. Saat itu saya baru berpikir "mungkin ada benarnya mas-mas tadi yang mengira saya putri salah satu dari mereka." *LOL* 
Perbincangan dimulai, dan saya segera membuka notes andalan. Di dalamnya sudah ada materi yang saya siapkan. Namun, ternyata sepanjang acara, notes itu hanya saya gunakan untuk mencatat banyak hal, bukannya untuk 'mengintip' materi saya. Perbincangan mengalir santai dan menyenangkan. Tak saya sangka, Pak Kresna dan Pak Paulus sungguh ramah. Saya yang duduk di tengah, setiap break, bebas mengajak ngobrol Pak Kresna dan Pak Paulus secara bergantian. Bagi saya, itu kesempatan untuk mengenal mereka. Dan tidak sia-sia, Pak Kresna sempat memberi dukungan dan membuka-buka buku yang saya bawa. Tak lupa, saya memberikan satu ekslemplar "Renjana dalam Bejana" untuk beliau sebagai kenang-kenangan. Sedang dengan Pak Paulus, saya diberikan kartu nama untuk kesempatan yang selama ini saya inginkan. 

Sebelumnya, saya tak pernah terbayang akan menjadi seorang narsum, apalagi disandingkan dengan mereka yang senior. Pengalaman pertama saya menjadi narsum dan on air di radio, menjadi kenangan saya. Setidaknya dengan pengalaman baru ini, saya percaya akan membawa diri saya ke pengalaman dan kesempatan menarik berikutnya. Jadi, saya tak akan berhenti bermimpi. Karena Tuhan mendengar dan menyimpan banyak kejutan di belakang. Saya sepenuhnya percaya padaNya, sang Pemberi Kejutan Terbaik. :)

Enciety Business Consult meramu acara di artikel ini.