Pages

Thursday, July 18, 2013

Sekadar Nostalgia?

Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali menulis surat dengan cara konvensional. Mata, tangan dan pikiran saya lebih familiar dengan keyboard komputer dan tampilan interface e-mail ketimbang kertas, pulpen dan amplop.

Beberapa bulan lalu, dari iseng menulis review tentang suatu novel, saya berkenalan dengan seorang sastrawan senior yang sudah menghasilkan ratusan, mungkin ribuan karya dalam perjalanan kariernya. Beliau sangat ramah dan bersahabat dengan saya yang masih 'hijau' ini. Awalnya kami berbincang melalui sambungan telepon saja. Namun, selanjutnya beliau mengirimi saya sebuah surat di antara paket bukunya. Saya tertegun. Rasanya saya kembali dikirim ke masa lampau. Ke masa-masa di mana surat dan kartu pos masih menjadi sarana mengirim dan menerima kata-kata. Selama ini surat dalam bentuk kertas memang masih akrab dengan saya. Namun itu sebatas surat yang dalamnya merupakan hasil cetak dari ketikan komputer saja. Jadilah saya sedikit banyak merasa takjub dengan 'mesin waktu' bernama surat itu. Saya amati benar-benar. Tulisan beliau rapi dan indah dengan bentuk karakter yang memanjang ke atas. Aura 'lama' semakin menguar menghampiri saya. 16 Juli lalu, tanpa disangka beliau mengirimi saya sebuah buku lain sebagai hadiah ulang tahun. Saya berinisiatif untuk tak mengucapkan terima kasih melalui telepon, namun melalui surat konvensional (beliau berhalangan mengakses e-mail). Saya pikir, saya sudah tak mampu menghindar kembali untuk menulis surat, dan harus mulai 'menjelajah waktu' dengan surat. Rasanya luar biasa, meski harus mengakui tulisan tangan saya tak sebaik beliau.

Bukan hanya surat yang berhasil mengajak saya ke masa lalu. Kartu pos pun mampu. Beberapa waktu lalu, seorang teman group chat berinisiatif mengirim kartu pos kepada sesama anggota. Meski kami mampu mengirim dan menerima pesan dalam hitungan detik kepada semua anggota, namun ia mengerti. Ada rasa yang tak terbeli dari kepuasan berkirim pesan melalui kartu pos dan perangko. Saat saya menerimanya, saya kembali merasa telah menemukan 'mesin waktu'.

Seorang teman yang lain sempat berkisah tentang dirinya yang memutuskan untuk mulai menulis surat kepada adik-adiknya di kampung karena terinspirasi kisah "Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken" yang ditulis Jostein Gaarder. Alasannya sederhana. Ia ingin melatih adik-adiknya untuk mengungkap rasa melalui kalimat-kalimat dalam surat.

Kadang memang kita terlalu nyaman dibuai teknologi. Larut dalam proses serba mudah dan cepat. Namun saya seakan dingatkan bahwa menulis surat atau kartu pos bukan hanya sekadar nostalgia, namun selalu ada rasa yang berbeda ketika pulpen bergesekan dengan permukaan kertas, menggoreskan satu per satu karakter, untuk membentuk kalimat. Bahkan terkadang harus merelakan 'draft pertama', dan memulai dari awal dengan lembar kertas yang baru. Beberapa kisah teringat kembali dalam kepala saya karena surat.

Zainuddin dan Hayati dalam "Kapal Van Der Wijck" - Hamka begitu rajin menulis surat. Dengan gaya bahasa melayu yang kental, mereka saling berbalas kabar, yang menjadi satu-satunya penghubung ketika mereka saling berjauhan. Sayang, surat terakhir justru membawa berita wafatnya Zainuddin yang membuat Hayati hancur.

Penyair Austria, Rainer Maria Rilke menyampaikan berbagai pandangan, kritik, saran yang mendalam dan dekat kepada seorang penyair muda, Franz Kappus. Surat-surat itu terasa sangat personal, mengesankan bukan hanya untuk Kappus, karena Rilke tak hanya membahas arti sempit sebuah karya, namun sesungguhnya ia juga berbicara tentang kehidupan.

Dan saya belum bisa melupakan bagaimana hangatnya hati seorang tukang pos, tokoh utama dalam novel grafis Kim Dong Hwa, "Sepeda Merah". Hanya karena ia menjadi seorang pengantar surat dengan sepeda berwarna merah di suatu desa di Korea, ia menemukan banyak hal yang memperkaya jiwanya dan melembutkan hatinya. Profesinya tak bisa dianggap remeh. Ia bukan hanya sekadar mengantar amplop berisi kertas, namun lebih dari itu, membantu menghubungkan perasaan antara pengirim dan penerima.

Setelah ini mungkin saya harus mulai berpikir. Walaupun cara berkirim pesan instan lebih mudah, cepat dan praktis, sesekali menulis surat dengan cara konvensional menyenangkan juga. Meski memang tak ada emoticon, sticker dan sebagainya untuk ditambahkan. Surat menuntut saya untuk lebih murni mengungkapkan sesuatu hanya dengan kata-kata. Meski menyampaikan sedikit pesan dibutuhkan perjuangan ke kantor pos, membeli perangko, dan mengirimnya. Meski akan dibutuhkan waktu yang lama untuk menyampaikan satu-dua kalimat. Akan ada kembali rasa cemas pada pengirim apakah suratnya akan sampai tepat waktu. Akan ada kembali rasa pada penerima, apakah akan datang surat sewaktu-waktu.

Pesan nyatanya selalu memiliki saatnya dan caranya sendiri untuk tiba. Mengirim surat dengan cara konvensional bukan selalu berarti tua dan tak praktis. Bisa jadi, karena rindu dengan semua sisi kehidupan yang serba perlahan dan butuh waktu. Di mana kita pikirkan benar-benar kalimat sebelum dikirimkan. Bukan sekadar pesan asal yang terkirim dalam hitungan detik, kemudian disesali karena terlanjur menimbulkan berbagai interpretasi dan salah persepsi.



2 comments:

  1. Mbaknya salah satu author perempuan dalam cerita, tho :D
    Tulisannya bagus, ijin polow..

    ReplyDelete