Pages

Friday, September 27, 2013

Billi dan Kalimat Semangka



“Semangka itu bulat, berkulit hijau dan sebesar kepalamu. Jika kau ingin memakannya, belah saja menjadi dua.”

Itu kutipan karangan yang saya ingat dari seorang anak laki-laki kelas 1 SD di salah satu kelas penulis cilik. Saya dan rekan tandem mengajar saya terkagum-kagum dengan tugas yang dikerjakan Billi. Pada saat itu kami meminta kelas untuk membuat deskripsi tokoh dari buku yang baru saja mereka baca dan disampaikan secara naratif. Kebetulan pada saat itu Billi mengambil buku cerita dengan tokoh semangka yang hidup (memiliki tangan dan kaki). Kami memang sempat tak percaya bahwa narasi itu benar-benar ditulis oleh Billi. Kecurigaan itu beralasan, karena memang beberapa temannya yang lain bertindak ‘tak mau repot’ dengan sekadar menyalin kalimat-kalimat deskripsi tokoh dari buku cerita. 

Setelah kami buktikan dengan 'menyelidiki' buku cerita yang diambil Billi, nyatanya tak ada satupun kalimat itu di dalam buku cerita. Sehingga, bisa dipastikan saat itu Billi murni membaca kisahnya hingga habis, memahami dan mendalami karakter tokoh dalam kepalanya, kemudian menyampaikannya dengan komunikatif dan imajinatif. Saya kemudian tertegun, sekaligus merasa bangga. Saya bahkan merasa, saat seusia Billi, belum tentu saya mampu melakukannya. Siapa Billi yang sedang saya ceritakan ini?

Seringkali menjadi satu-satunya lelaki di kelas, ia sama sekali tak merasa canggung. Beberapa kali ia sering menyandarkan dagunya ke atas meja dengan mata sayu yang mengantuk. Saya (terus terang) tak tega menegurnya, selalu ada pemaafan dalam kepala saya bahwa anak itu telah menempuh perjalanan jauh dari pulau Madura hanya demi sekadar mengikuti kelas ini. Jadi, sesungguhnya saya selalu ‘nakal’ dengan membiarkan rekan pengajar tandem saya yang menegur tingkah lucu Billi. Bagaimanapun, ia masih anak-anak. Kadang kala mampu sangat pendiam karena sekadar masih mengantuk atau lapar, di lain hari ia mampu begitu semangat bercerita tentang apa saja hingga susah dihentikan.

Melihat kiprah Billi di kelas selama ini, saya kemudian melihat gambaran seorang Billi versi masa depan di kepala saya. Kesempatan-kesempatan yang akan ia dapatkan, jalan-jalan yang terbuka padanya dan banyak hal baik lain yang akan menyambutnya. Mungkin kelak ia mampu menulis sebaik Umar Kayam, menjadi penulis unik dan gaul seperti Vabyo, atau justru menjadi penuh filosofi seperti Goenawan Mohamad? Terlalu cepat untuk membahas itu? Tidak juga, saya rasa. Siapapun dan di usia berapa pun, mimpi tak pernah terlalu cepat datang atau terlambat untuk dikejar. Anak-anak bagi saya selalu menyenangkan. Masa kecil adalah fase di mana sebagai manusia mereka memiliki kebebasan penuh untuk melakukan segalanya dengan imajinasi yang tak dibatasi, mencoba semua hal tanpa ragu, juga mimpi-mimpi yang dibentuk tanpa rasa takut.   

Kalimat semangka Billi mungkin tak begitu berarti besar baginya, namun imajinasinya yang terus tumbuh akan membawanya ke mana saja kelak. Imajinasi itu akan membawanya lebih dekat ke impian dan harapannya. Lebih dari itu, saya belajar dari Billi. Imajinasi semestinya tak menemukan batas dan tak sekadar terbatas pada proses kreatif berkarya, namun juga dalam setiap proses menapaki kehidupan. Billi seakan 'mengajak' saya untuk memulai kembali semuanya seperti anak-anak. Di mana jatuh hanya berarti menangis kecil sesaat untuk kemudian berlari lagi dengan gembira, seakan belum pernah terjatuh sebelumnya.

No comments:

Post a Comment