Pages

Thursday, September 19, 2013

Kabar Terbaru Penulis Gatotkoco Suroso


Setelah mencuat kasus alihwahana tanpa izin novel Jokowi Si Tukang Kayu ke layar, ke mana dan apa yang dilakukan Gatotkoco Suroso? Penulis yang juga aktivis dan pemred sebuah majalah budaya ini pun berbicara panjang lebar tentang apa saja, mulai novel, pemuda, hingga penulis Indonesia.




Tampilannya bak ‘seniman’ dengan rambut gondrong, mengenakan rompi dan badge bendera Indonesia di lengan kanannya, tak mampu menyembunyikan keramahannya begitu ia berbicara. Kesan tak banyak bicara  pada pria kelahiran Boyolali 21 Juni ini langsung luruh begitu berbagai uraian jawaban mengalir dari dirinya. Mulai menulis secara profesional sejak tahun 2008, menulis lepas di berbagai media, membawa dirinya menghasilkan novel pertama berjudul “Sarjana Muda”. Hingga waktu membawanya melahirkan kembali novel kedua berjudul “Jokowi Si Tukang Kayu” yang menceritakan tentang awal kisah hidup Jokowi hingga menjadi walikota Solo. 

Tanggal 30 Mei tahun 2013, seorang mantan direktur penerbit yang menerbitkan novel “Jokowi Si Tukang Kayu” berkata bahwa sudah ada persetujuan bahwa sampul lama novel diganti dengan sampul poster film. Hal itu tentu saja membuat ia terkejut. Tak ada kesepakatan apapun sebelumnya dengan pihak penerbit maupun produser untuk pengadaptasian novelnya menjadi sebuah film. Awalnya Gatotkoco cuek saja, enggan menanggapi. Namun kemudian pikirannya bergemuruh. Ia merasa tak terima karena penerbit yang lepas tangan dari dirinya : terlambat membayarkan royalti sesuai dengan waktu yang dijanjikan, juga membuat kesepakatan dengan produser film tentang novelnya. Ia mengajukan protes yang sempat dimuat dalam beberapa media televisi maupun portal berita online. Aksi tersebut dilatarbelakangi oleh pemikirannya bahwa ada sebentuk penjajahan kapitalisme yang harus dilawan. “Orang yang punya modal, menjajah orang yang tidak punya modal.” Begitu ia mengumpamakan peristiwa yang terjadi pada dirinya. ‘Teriakan’ Gatotkoco itu menggaung hingga ia menuai berbagai reaksi dukungan dari sahabat terdekatnya Iwan Piliang juga rekan-rekan sesama penulis, bahkan hingga ‘pinangan’ dari penerbit lain yang ingin menerbitkan karyanya. Meski begitu, kasus itu juga menjadikan novelnya banyak dibajak dan dijual bebas di beberapa kota. Memberikan tanggapan mengenai hal itu, ia berbicara secara terbuka, “Saya tidak bisa menutut, kalau menuntut pun mau menuntut ke mana?” meski secara hukum pembajakan adalah sebentuk pengkhianatan intelektual. Apabila nanti semua hak-haknya dipenuhi secara layak oleh penerbit, dengan bijak, Gatotkoco berujar ingin menutup buku kasus ini dan menjadikannya sebagai suatu bentuk pembelajaran di masa depan. Menurutnya perlu pemikiran yang matang untuk menghasilkan suatu buku, sehingga penulis tak semestinya dipandang sebelah mata. 

Tak melulu membahas kasus yang menimpa novelnya, Gatotkoco juga bersuara akan pemikiran-pemikiran yang menarik. Ia seringkali menegaskan, motivasinya untuk menulis dikarenakan latar belakang yang dimilikinya sebagai seorang aktivis. Baginya, dunia aktivis seharusnya memiliki cara-cara kreatif untuk menyampaikan ajakan positif pada generasi muda. Salah satu cara yang ia tempuh adalah dengan menulis. Tak heran, karyanya tak pernah jauh dari isu sosial, mengungkap motivasi dan inspirasi dengan memberi gambaran kehidupan sosok-sosok yang menjadi zero to hero. Melalui bedah buku di kampus-kampus dan bertemu dengan banyak pemuda, membuatnya mudah untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang membangun mereka. Itu juga yang menjadi alasannya tak ingin menulis di luar jalur yang ia tekuni saat ini. Pemuda selalu memiliki tempat besar dalam kepalanya. Baginya, perubahan di belahan manapun di dunia dimulai dari generasi muda. Ia teringat ucapan Pramoedya Ananta Toer tentang pemuda : “Pemuda tanpa keberanian, tak lebih hanya ternak semata.” Ia berharap bahwa kalimat itu ditangkap dari generasi ke generasi agar kelak pemuda mampu menjadi generasi yang mandiri. Kepada penulis muda ia berpesan, “Jangan putus asa oleh apapun, coba terus dan dibutuhkan nekad untuk menulis.” Baginya, modal terpenting bagi penulis adalah kemauan untuk menyelesaikan karya. Jika lelah, istirahatlah untuk kemudian memulai kembali. 

Ditanya apa rencananya ke depan, ia mengutarakan tengah menggagas suatu ikatan profesi yang mampu menjadi payon bagi para penulis yang dinamakan Ikatan Penulis Indonesia. Ia berharap ke depannya IPI akan memiliki perwakilannya di tiap daerah. Pengalaman tak menyenangkannya dengan penerbit, membuat dirinya dan beberapa penulis yang mengalami hal yang sama berkumpul dan membentuk ikatan profesi ini. Ikatan Penulis Indonesia bertujuan menaungi penulis-penulis yang bergabung dengan payung hukum dan perlindungan agar penulis sebagai pencipta karya diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Selama ini royalti penulis sebesar 10 hingga 15 persen adalah sebuah ketidaklayakan yang perlu untuk dikritisi. Kongres perdana IPI diselenggarakan tanggal 7 September 2013 mendatang di Pendopo Situ Gintung Jakarta. Berbagai kalangan penulis akan diterima dengan terbuka tanpa membedakan penulis pemula dan senior. Dari penulis senior ia berharap dapat memetik berbagai pembelajaran untuk para penulis pemula agar mampu mapan di bidang kepenulisan. 

Bicara tentang karya selanjutnya, ia masih menyimpan lima naskah buku yang belum diterbitkan, di antaranya berupa novel dan buku filsafat. Namun kejadian tak menyenangkan yang pernah dialami, tentu membuatnya lebih selektif dan berhati-hati memilih jalan dalam menerbitkan naskah.

Baginya, penulis semestinya mulai berani bersuara akan ketidakadilan yang terjadi, penerbit lebih memperhatikan penulis dan jangan sampai yang terjadi padanya terulang kembali. Ketika penerbit mengingkari perjanjian, sesungguhnya mereka melakukan pengkhianatan ilmu. Ketika ilmu dikhianati, tatanan sosial akan rusak. Oleh karena itu, ia berharap penerbit selalu bersikap baik, tidak arogan dan menghargai penulis. Jika penulis tidak diperlakukan dengan baik, tak akan ada karya-karya yang lahir dan diterbitkan. Ia sepakat benar dengan ucapan Iwan Piliang, sahabatnya : Penulis adalah orang yang bisa mengubah peradaban.


NABILA BUDAYANA

Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya untuk AlineaTV tanggal 5 September 2013

1 comment:

  1. Aktifkan flv audio di web browser, dan jadi pendengar radio garuda fm suriname bersama setengah juta pengakses blog www.maharprastowo.com

    ReplyDelete