Setelah mencuat kasus alihwahana tanpa izin novel Jokowi Si Tukang Kayu ke layar, ke mana dan apa yang dilakukan Gatotkoco Suroso? Penulis yang juga aktivis dan pemred sebuah majalah budaya ini pun berbicara panjang lebar tentang apa saja, mulai
novel, pemuda, hingga penulis Indonesia.
Tampilannya bak ‘seniman’
dengan rambut gondrong, mengenakan rompi dan badge
bendera Indonesia di lengan kanannya, tak mampu menyembunyikan keramahannya
begitu ia berbicara. Kesan tak banyak bicara pada pria kelahiran Boyolali 21 Juni ini langsung luruh begitu berbagai uraian
jawaban mengalir dari dirinya. Mulai menulis secara profesional sejak tahun
2008, menulis lepas di berbagai media, membawa dirinya menghasilkan novel
pertama berjudul “Sarjana Muda”. Hingga waktu membawanya melahirkan kembali
novel kedua berjudul “Jokowi Si Tukang Kayu” yang menceritakan tentang awal kisah
hidup Jokowi hingga menjadi walikota Solo.
Tanggal 30 Mei tahun 2013, seorang mantan direktur
penerbit yang menerbitkan novel “Jokowi Si Tukang Kayu” berkata bahwa
sudah ada persetujuan bahwa sampul lama novel diganti dengan sampul poster film. Hal itu tentu saja membuat ia terkejut. Tak
ada kesepakatan apapun sebelumnya dengan pihak penerbit maupun produser untuk
pengadaptasian novelnya menjadi sebuah film. Awalnya Gatotkoco cuek saja, enggan
menanggapi. Namun kemudian pikirannya bergemuruh. Ia merasa tak terima karena
penerbit yang lepas tangan dari dirinya : terlambat membayarkan royalti sesuai dengan waktu
yang dijanjikan, juga
membuat kesepakatan dengan produser film tentang novelnya. Ia mengajukan protes
yang sempat dimuat dalam beberapa media televisi maupun portal berita online. Aksi tersebut dilatarbelakangi oleh
pemikirannya bahwa ada sebentuk penjajahan kapitalisme yang harus dilawan.
“Orang yang punya modal, menjajah orang yang tidak punya modal.” Begitu ia
mengumpamakan peristiwa yang terjadi pada dirinya. ‘Teriakan’ Gatotkoco itu
menggaung hingga ia menuai berbagai reaksi dukungan dari sahabat terdekatnya
Iwan Piliang juga rekan-rekan sesama penulis, bahkan hingga ‘pinangan’ dari
penerbit lain yang ingin menerbitkan karyanya. Meski begitu, kasus itu juga
menjadikan novelnya banyak dibajak dan dijual bebas di beberapa kota.
Memberikan tanggapan mengenai hal itu, ia berbicara secara terbuka, “Saya tidak
bisa menutut, kalau menuntut pun mau menuntut ke mana?” meski secara hukum
pembajakan adalah sebentuk pengkhianatan intelektual. Apabila nanti
semua hak-haknya dipenuhi secara layak oleh
penerbit, dengan bijak,
Gatotkoco berujar ingin menutup buku kasus ini dan menjadikannya sebagai suatu
bentuk pembelajaran di masa depan. Menurutnya perlu pemikiran yang matang untuk
menghasilkan suatu buku, sehingga penulis tak semestinya dipandang sebelah
mata.
Tak melulu membahas kasus yang menimpa
novelnya, Gatotkoco juga bersuara akan pemikiran-pemikiran yang menarik. Ia
seringkali menegaskan, motivasinya untuk menulis dikarenakan latar belakang
yang dimilikinya sebagai seorang aktivis. Baginya, dunia aktivis seharusnya
memiliki cara-cara kreatif untuk menyampaikan ajakan positif pada generasi
muda. Salah satu cara yang ia tempuh adalah dengan menulis. Tak heran, karyanya
tak pernah jauh dari isu sosial, mengungkap motivasi dan inspirasi dengan
memberi gambaran kehidupan sosok-sosok yang menjadi zero to hero. Melalui
bedah buku di kampus-kampus dan bertemu dengan banyak pemuda, membuatnya mudah
untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang membangun mereka. Itu juga yang menjadi
alasannya tak ingin menulis di luar jalur yang ia tekuni saat ini. Pemuda
selalu memiliki tempat besar dalam kepalanya. Baginya, perubahan di belahan
manapun di dunia dimulai dari generasi muda. Ia teringat ucapan Pramoedya
Ananta Toer tentang
pemuda : “Pemuda tanpa keberanian, tak lebih hanya ternak semata.” Ia berharap bahwa
kalimat itu ditangkap dari generasi ke generasi agar kelak pemuda mampu menjadi
generasi yang mandiri. Kepada penulis muda ia berpesan, “Jangan putus asa oleh
apapun, coba terus dan dibutuhkan nekad untuk menulis.” Baginya, modal
terpenting bagi penulis adalah kemauan untuk menyelesaikan karya. Jika lelah,
istirahatlah untuk kemudian memulai kembali.
Ditanya apa rencananya ke depan, ia
mengutarakan tengah menggagas suatu ikatan profesi yang mampu menjadi payon
bagi para penulis yang dinamakan Ikatan Penulis Indonesia. Ia berharap ke
depannya IPI akan memiliki perwakilannya di tiap daerah. Pengalaman tak menyenangkannya
dengan penerbit, membuat dirinya dan beberapa penulis yang mengalami hal yang
sama berkumpul dan membentuk ikatan profesi ini. Ikatan Penulis Indonesia
bertujuan menaungi penulis-penulis yang bergabung dengan payung hukum dan perlindungan
agar penulis sebagai pencipta karya diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Selama
ini royalti penulis sebesar 10 hingga 15 persen adalah sebuah ketidaklayakan
yang perlu untuk dikritisi. Kongres perdana IPI diselenggarakan tanggal 7
September 2013 mendatang di Pendopo Situ Gintung Jakarta. Berbagai kalangan penulis
akan diterima dengan terbuka tanpa membedakan penulis pemula dan senior. Dari
penulis senior ia berharap dapat memetik berbagai pembelajaran untuk para
penulis pemula agar mampu mapan di bidang kepenulisan.
Bicara tentang karya selanjutnya, ia
masih menyimpan lima naskah buku yang belum diterbitkan, di antaranya berupa
novel dan buku filsafat. Namun kejadian tak menyenangkan yang pernah dialami, tentu
membuatnya lebih selektif dan berhati-hati memilih jalan dalam menerbitkan
naskah.
Baginya, penulis semestinya mulai
berani bersuara akan ketidakadilan yang terjadi, penerbit lebih memperhatikan
penulis dan jangan sampai yang terjadi padanya terulang kembali. Ketika
penerbit mengingkari perjanjian, sesungguhnya mereka melakukan pengkhianatan
ilmu. Ketika ilmu dikhianati, tatanan sosial akan rusak. Oleh karena itu, ia
berharap penerbit selalu bersikap baik, tidak arogan dan menghargai penulis.
Jika penulis tidak diperlakukan dengan baik, tak akan ada karya-karya yang lahir
dan diterbitkan. Ia sepakat benar dengan ucapan Iwan
Piliang, sahabatnya : Penulis adalah orang yang bisa mengubah peradaban.
NABILA BUDAYANA
Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya untuk AlineaTV tanggal 5 September 2013
Aktifkan flv audio di web browser, dan jadi pendengar radio garuda fm suriname bersama setengah juta pengakses blog www.maharprastowo.com
ReplyDelete