Pages

Saturday, September 14, 2013

Tentang Bert dan The Book of Lost Things



Saya teringat salah satu kalimat yang pernah terlontar dari Agustinus Wibowo bahwa kita dibesarkan dengan cerita yang dikisahkan semasa kecil.

Beberapa hari ini saya sibuk tenggelam dalam novel fiksi karangan John Connolly, The Book of Lost Things. Kontennya memang tentang berbagai karakter dongeng-dongeng klasik dunia yang sudah sangat dikenal. Meski  tentang dongeng, namun The Book of Lost Things jelas untuk dewasa. Semua kisah dongeng yang penuh dengan manis dan pesan moral dijungkirbalikkan sedemikian rupa hingga menjadi paradoks dari kisah asalnya. Membaca buku itu seakan penulis ingin menyampaikan pesan besar bahwa ‘dunia yang sesungguhnya tak pernah seindah dongeng’. Dunia ini penuh kekejaman dan kejahatan disamping kebaikan hati yang bahkan terkadang palsu. Pembaca dewasa seakan diingatkan bahwa begitulah keadaan dunia. Saya kutip salah satu bagian di mana sang tokoh utama, David sedang bertanya kepada sang ksatria setelah ia menyaksikan banyak jasad manusia hasil pembantaian di dalam perjalanannya di dalam hutan.

"Jadi tidakkah seharusnya kita melakukan sesuatu?"
"Apa yang ingin kau usulkan : kita mesti memburunya dengan satu setengah pedang? Hidup ini penuh dengan ancaman dan bahaya, David. Kita menghadapi apa yang harus dihadapi, dan ada saat-saat kita harus memilih untuk bertindak demi kepentingan orang banyak, meski untuk itu kita harus mengorbankan diri sendiri, tapi bukan berarti kita mesti mempertaruhkan nyawa kalau tidak ada perlunya. Masing-masing dari kita hanya mempunyai satu kehidupan untuk dijalani, dan satu nyawa untuk diberikan. Buat apa menyia-nyiakan nyawa yang hanya satu itu untuk sesuatu yang sudah tak bisa diselamatkan."

Sang tokoh utama, David merasa bahwa sang ksatria berbeda dengan sosok ksatria yang ia temukan dalam buku-buku dongeng miliknya, yang selalu rela mengorbankan nyawa, berhasil menjadi pahlawan dan membawa kemenangan pulang. Dongeng dan dunia nyata ternyata memiliki batasnya.


Saat kecil, selain hobi menghapal dan mengoreksi kisah yang mama bacakan sebelum tidur, saya dibesarkan dengan buku-buku pinjaman dan ensiklopedia anak-anak hasil fotokopi milik sepupu. Komik, majalah anak-anak, novel horor karangan R.L Stine : Goosebumps, dan satu-dua buku 'mewah' berwarna meneruskan jejak dunia dongeng saya beberapa tahun kemudian. Bohong jika saya mengingat semua ceritanya. Hanya beberapa kisah yang berhasil melawan waktu dan memori otak yang terus bergeser.

Namun ada satu kisah yang entah mengapa pesan moralnya begitu melekat di kepala saya hingga saat ini. Kisah itu tentang Bert, karakter Sesame Street yang sedang bekerja di Toko Hopper. Bert bekerja dengan baik, hingga suatu saat ia memecahkan teko kesayangan David, sang pemilik. Bert semakin merasa bersalah karena teko itu diwariskan langsung oleh Tuan Hopper kepada David. Merasa benar-benar tak enak hati atas kecerobohannya itu, dalam kepala Bert, terpikir bahwa David akan marah besar padanya. Hingga ia mencari segala cara untuk memperbaiki atau menukar teko itu dengan yang baru, meski akhirnya gagal. Tapi siapa sangka, saat berbicara dengan David tentang teko itu, sang pria justru berkata pada Bert : 
"Tahukah engkau, Bert, temanku Bert lebih penting dari teko manapun." 
Mungkin itu menjadi pesan moral yang melekat terus dalam ingatan saya mengalahkan persahabatan ajaib Doraemon dan Nobita, persaudaraan dan kerjasama Wright bersaudara, dan pesan-pesan bijak milik Nirmala, peri di majalah Bobo.     
 
Semua manusia menyukai cerita, dan menyimpan cerita itu dalam kepala masing-masing. Meski dunia dongeng tak pernah benar-benar ada, namun semua akan terus mengingat betapa sedihnya seorang Cinderella, betapa lamanya penantian seorang putri tidur, dan betapa kejamnya nenek sihir  meracuni putri salju. 

Begitu dewasa, mengingat dongeng-dongeng itu akan selalu menyenangkan. Entah untuk terlelap lama dalam sudut kepala dan selalu kembali hidup dalam imajinasi. Mungkin juga mampu mempengaruhi cara berpikir seseorang seterusnya, hingga menyelamatkannya sesaat dari keras dunia. Itu seakan menampar saya agar tak menyerah karena sekadar terbelalak melihat banderol harga buku-buku dongeng di toko buku, dan terbayang wajah Kevin, keponakan saya. 



"Selalu ada yang bisa dipelajari dalam setiap cerita."- John Connolly





No comments:

Post a Comment