Saya teringat salah satu kalimat yang pernah terlontar dari Agustinus
Wibowo bahwa kita dibesarkan dengan cerita yang
dikisahkan semasa kecil.
Beberapa
hari ini saya sibuk tenggelam dalam novel fiksi karangan John Connolly, The
Book of Lost Things. Kontennya memang tentang berbagai karakter dongeng-dongeng
klasik dunia yang sudah sangat dikenal. Meski tentang dongeng, namun The
Book of Lost Things jelas untuk dewasa. Semua kisah dongeng yang penuh dengan
manis dan pesan moral dijungkirbalikkan sedemikian rupa hingga menjadi
paradoks dari kisah asalnya. Membaca buku itu seakan penulis ingin menyampaikan
pesan besar bahwa ‘dunia yang sesungguhnya tak pernah seindah dongeng’. Dunia
ini penuh kekejaman dan kejahatan disamping kebaikan hati yang bahkan terkadang
palsu. Pembaca dewasa seakan diingatkan bahwa begitulah keadaan dunia. Saya
kutip salah satu bagian di mana sang tokoh utama, David sedang bertanya kepada
sang ksatria setelah ia menyaksikan banyak jasad manusia hasil pembantaian di
dalam perjalanannya di dalam hutan.
"Jadi
tidakkah seharusnya kita melakukan sesuatu?"
"Apa
yang ingin kau usulkan : kita mesti memburunya dengan satu setengah pedang?
Hidup ini penuh dengan ancaman dan bahaya, David. Kita menghadapi apa yang
harus dihadapi, dan ada saat-saat kita harus memilih untuk bertindak demi
kepentingan orang banyak, meski untuk itu kita harus mengorbankan diri sendiri,
tapi bukan berarti kita mesti mempertaruhkan nyawa kalau tidak ada perlunya.
Masing-masing dari kita hanya mempunyai satu kehidupan untuk dijalani, dan satu
nyawa untuk diberikan. Buat apa menyia-nyiakan nyawa yang hanya satu itu untuk
sesuatu yang sudah tak bisa
diselamatkan."
Sang
tokoh utama, David merasa bahwa sang ksatria berbeda dengan sosok
ksatria yang ia temukan dalam buku-buku dongeng miliknya, yang selalu rela mengorbankan nyawa, berhasil menjadi pahlawan dan membawa kemenangan pulang. Dongeng dan dunia nyata ternyata memiliki batasnya.
Saat kecil,
selain hobi menghapal dan mengoreksi kisah yang mama bacakan sebelum tidur,
saya dibesarkan dengan buku-buku pinjaman dan ensiklopedia anak-anak hasil
fotokopi milik sepupu. Komik, majalah anak-anak, novel horor karangan R.L Stine
: Goosebumps, dan satu-dua buku 'mewah' berwarna meneruskan jejak dunia dongeng
saya beberapa tahun kemudian. Bohong jika saya mengingat semua ceritanya. Hanya
beberapa kisah yang berhasil melawan waktu dan memori otak yang terus bergeser.
Namun ada
satu kisah yang entah mengapa pesan moralnya begitu melekat di kepala saya hingga saat ini.
Kisah itu tentang Bert, karakter Sesame Street yang sedang bekerja di Toko Hopper. Bert bekerja dengan baik, hingga suatu saat ia memecahkan teko kesayangan David, sang pemilik. Bert semakin merasa bersalah karena teko itu diwariskan langsung oleh Tuan Hopper kepada David. Merasa benar-benar tak
enak hati atas kecerobohannya itu, dalam kepala Bert, terpikir bahwa David akan marah besar padanya. Hingga ia mencari segala cara untuk memperbaiki atau menukar teko itu dengan yang baru, meski akhirnya gagal. Tapi siapa sangka, saat berbicara dengan David tentang teko itu, sang pria justru berkata pada Bert :
"Tahukah engkau, Bert, temanku Bert lebih penting dari teko manapun."
Mungkin itu menjadi pesan moral yang melekat terus dalam ingatan saya mengalahkan
persahabatan ajaib Doraemon dan Nobita, persaudaraan dan kerjasama Wright
bersaudara, dan pesan-pesan bijak milik Nirmala, peri di majalah Bobo.
Semua manusia menyukai cerita, dan menyimpan cerita itu dalam kepala masing-masing. Meski dunia
dongeng tak pernah benar-benar ada, namun semua akan terus mengingat betapa sedihnya seorang
Cinderella, betapa lamanya penantian seorang putri tidur, dan betapa kejamnya
nenek sihir meracuni putri salju.
Begitu dewasa, mengingat dongeng-dongeng itu akan selalu menyenangkan. Entah untuk terlelap lama dalam sudut kepala dan selalu kembali hidup dalam imajinasi. Mungkin juga mampu mempengaruhi cara berpikir seseorang seterusnya, hingga menyelamatkannya sesaat dari keras dunia. Itu seakan menampar saya agar tak menyerah karena sekadar terbelalak melihat banderol harga buku-buku dongeng di toko buku, dan terbayang wajah Kevin, keponakan saya.
"Selalu ada yang
bisa dipelajari dalam setiap cerita."- John Connolly
No comments:
Post a Comment