Pages

Thursday, October 31, 2013

Kursi-Kursi Kosong yang Tak Bicara dan Payung-Payung Besar yang Berharap untuk Dibuka





Terlalu cepat menghakimi bahwa Grote Markt akan selalu penuh dengan hasrat dan langkah-langkah untuk berbelanja. Terlalu cepat menyangka bahwa waktu selalu cepat berlalu saat menyusuri sepanjang kawasan Meir.

Seorang wanita tua dengan coat gelap itu memandang langit krem yang tak menghadirkan warna biru pada ruangnya. Dengan langkah yang perlahan ia mencoba menyeimbangkan diri dengan tongkat di tangan. Sudah beberapa hari ini kepalanya mengalami pusing kambuhan. Cukup membuatnya heran, karena selain kakinya yang mengalami rematik, sepengetahuannya bagian tubuh lain masih dalam kondisi yang baik. Angin kecil memainkan rambut putihnya yang bergelombang. Langkah-langkah tertatihnya akhirnya mengantarkannya pada lorong-lorong di antara bangunan tua yang sudah diatur indah. Tak salah Antwerpen dipilih sebagai salah satu kota dengan arsitektur bangunan tua yang terindah di dunia, dengan mengadopsi gaya Baroque dan Gothic abad ke-16. Diam-diam di balik senyumnya, juga di dalam hatinya, sang wanita tua merasa haru dengan apa yang dipandang oleh matanya, masih sama seperti di dalam ingatan saat ia tertegun lama memandang gerbang Antwerpen Centraal, stasiun kereta utama di kota ini.  Dalam kepalanya ia berpikir, jika ini menjadi pemandangan terakhir yang ia saksikan di dunia, ia tak akan menyesal. Begitulah. Akhir-akhir ini, segala hal nyaris terasa ‘menjadi yang terakhir’ baginya. Usia dan waktu yang tak pernah berhenti berlari, alasannya.   

Tak ia sangka sebegitu cepat kakinya membawa. Meski selalu mengatakan bahwa ia masih kuat, namun usia tak bisa dibohongi. Kakinya sudah sangat lelah, meski tak ada keringat yang membasahi tubuh. Rasanya tak ada salahnya berhenti sejenak. Pandangannya menangkap kursi-kursi kosong yang tak bicara dan payung-payung besar yang berharap untuk dibuka di sebuah pelataran restoran. Tempat itu nampaknya sepi pengunjung. Sebagian besar pelanggannya sedang menyaksikan festival di tepi sungai Scheldt. Dengan perlahan dan tenang, ia meletakkan dirinya pada kursi. Tongkat berharganya ia sandarkan dengan hati-hati. Seorang pramuniaga menyapanya dengan hangat. Menanyakan pesanan dan merekomendasikan macam-macam. Seakan ia mengerti bahwa itu adalah pertama kalinya sang wanita tua berkunjung. Namun sang wanita tua hanya meminta secangkir cokelat dan sepotong brownies untuk dirinya. Pelayan muda itu hanya mengerutkan kening sesaat sebelum mengiyakan dan bergegas ke dalam restoran. Sang wanita tua sadar betul, menunggu di sini tak akan pernah sanggup membuatnya bosan. Arsitektur memikat, langit yang kelabu menuju sendu, orang-orang yang tak peduli, membuatnya merasakan hawa yang berbeda. Yang dingin, namun membuatnya selalu rindu. Kenangan-kenangan selalu berhasil hidup kembali pada kepalanya dalam situasi begini. 

***

Karena sesaat terpikat dengan bunga-bunga yang dijual di sebuah toko bunga, membawa sang wanita berbincang dan mengobrol singkat dengan seorang perempuan imigran Maroko berjilbab yang sedang bekerja paruh waktu. Kenangan itu menjadi menarik karena sang wanita Maroko yang tak sempat ia tanyakan namanya itu menyapanya dengan “Assalamualaikum” begitu ia mengetahui bahwa ia berasal dari Indonesia. Perempuan paruh baya itu sangat ramah dan hangat. Ia bertanya tentang beberapa hal, termasuk apa yang membawa seorang wanita tua seorang diri dari sebuah negara tropis di tenggara Asia menuju ke kota kecil di utara Belgia. Mendengar itu, perempuan berjilbab itu menitikkan air mata mendengarkan sang wanita tua bercerita. Ia bahkan memohon maaf membuat sang wanita mesti melihatnya menangis di depan orang yang pertama kali ditemuinya. Mereka berpelukan tanpa direncanakan. Entah karena sama-sama perempuan, atau sang wanita berjilbab yang merasa memiliki keterikatan khusus dengan Indonesia. Namun pilihan yang paling mendekati kebenaran adalah alasan yang tak memerlukan kata untuk ditunjukkan : Rasa kemanusiaan yang terusik. Perempuan berjilbab itu belum rela membiarkan sang wanita tua berjalan sendirian meski sang wanita berkeras baik-baik saja. Sang perempuan berjilbab menuntun dan menggandengnya dengan sangat lembut dan halus. Sang wanita berkata ingin mengunjungi suatu tempat. Sepanjang jalan, tak banyak kata terlontar dari mereka. Hanya sepoi angin dan keramaian kecil sekitar yang membuat perjalanan itu tak secanggung yang sesungguhnya. Hingga akhirnya langkah mereka melambat ketika sebuah bangunan dengan tanda salib di atas salah satu menaranya tampak. Onze Lieve Vrouwekathedraal. Sang wanita tua melangkah masuk setelah memandang takzim apa yang ada di hadapannya. Sang wanita berdoa begitu lama di depan altar, dalam hening. Sang perempuan berjilbab menatapnya dari kejauhan.  

Tak lama, wanita tua itu kembali dengan mata yang menyilaukan seberkas basah. Katanya, tadi adalah pertemuan besarnya, setelah sekian tahun lamanya. Ia sudah lama melupakan Tuhan. Namun kini ia kembali mengirimkan doa. Tuhan ada di dalam sana, katanya. Sang perempuan berjilbab diam-diam memuji nama Tuhan di dalam hatinya. Kembali tak ada kata yang tersisa selama perjalanan berikutnya. Selain sang wanita tua yang mengeluh tentang kepala dan kakinya yang sakit beberapa kali, mereka dirundung hening. Kali ini sang wanita tua yang memimpin perjalanan. Beberapa kali ia menatap pada keramaian. Seakan ia melihat sesuatu yang penting di sana. Perempuan Maroko itu bertanya-tanya, apa ia kesepian? Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba di sepanjang jalan Meir. Wanita itu bilang ia ingin sendiri, dan mengucapkan salam perpisahan pada sang perempuan berjilbab. Setelah berdebat kecil, sang perempuan mengalah dan meninggalkannya. Namun diam-diam di balik tikungan, ia masih mengawasi apa yang dilakukan sang wanita. Dengan tersenyum, wanita tua itu nampak menikmati musik dari seorang seniman jalanan tua yang sedang memainkan akordion.

Tanya masih menyelimuti sang perempuan berjilbab. Ketika mengedipkan mata ke dua kali, ia sudah tak melihat hal yang sama. Justru di tempat yang sama, seorang wanita muda berkulit gelap yang cantik, dengan rambut bergelombang, persis milik sang wanita tua, sedang berputar dan menari. Gaun yang melekat di tubuhnya melambai sesuai dengan irama musik. Tarian itu diiringi irama ceria dari tangan seorang pemuda pemain akordion berkulit putih. Saat musik berhenti, mereka berdua saling bertatapan dan menggenggam tangan. Ketika perempuan itu mengedipkan mata kembali, wanita tua itu telah menyatukan tangan dengan sang pria tua pemain akordion.  

Perempuan berjilbab itu berjalan pergi dengan mata yang dihiasi seberkas basah, dan rapalan nama Tuhan di dalam hatinya. Wanita tua itu benar-benar membuktikan perkataannya : “Mencari kenangan sebelum akhir datang.”   

No comments:

Post a Comment