Pages

Friday, October 18, 2013

Negeri Serupa Dunia dan Negeri Cahaya



 “Harus kukutuk ia menjadi apa?”

Sang wanita tua berpandangan dingin yang biasanya selalu tenang itu merasa kebingungan. Selama ini ia sudah menggunakan berbagai jenis binatang untuk mengutuk orang lain. Sebutkan saja, kucing, anjing, lebah, burung, dan lain sebagainya. Meski beberapa dari itu adalah binatang yang lucu, namun tak ada yang lebih menyedihkan selain menjadi wujud berbeda dari si pemilik raga sempurna, manusia. Sungguh rasanya tak begitu nyaman terbiasa menjejak tanah dengan dua kaki kemudian dipaksa untuk mendekatkan wajah pada tanah dan berdiri pada empat kaki. Bahkan menjadikan kedua tangan sebagai sayap bukanlah hal mudah. Jika kau melihat burung-burung yang terseok untuk mencoba terbang, bisa jadi mereka adalah manusia hasil kutukan wanita berpandangan dingin. Wanita itu tak pernah melakukan kutukan karena diminta. Ia melakukan sesuai keinginannya sendiri. Bisa saja karena ia begitu iba menyaksikan seorang wanita tua yang ditelantarkan putranya. Pernah pula ia melakukannya karena tak tahan melihat seorang wanita korban kejahatan. Kali ini ia tergerak oleh seorang wanita paruh baya sepantaran dirinya yang sakit hati dan nyaris gila karena mengalami penyiksaan dari sang suami. Semua yang dikutuknya adalah laki-laki. Negeri ini sungguh serupa dengan negeri dongeng yang sering mereka sebut sebagai Dunia. Penuh kejahatan dan penyiksaan.

Kali ini ia mesti berpikir. Binatang apa yang belum pernah ia gunakan sebagai objek kutukan. Dikelilinginya segala sudut negeri, mencari hewan apa yang tepat untuk ia gunakan. Saat pulang dan berpikir di beranda rumahnya, seorang gadis mungil bermata indah dengan riang berlari kecil menuju sang wanita. Sebuah buku bersampul cerah ia apit di lengan kanannya.
“Mengapa kau bawa-bawa itu?”
“Saat membaca di bawah pohon tadi, ia tiba-tiba datang menghampiriku.” mata gadis itu melebar.
Di belakangnya, seekor rusa sedang mengikutinya dengan takut-takut. Tanduknya yang bercabang nampak gagah, ada bintik putih di atas bulu lembut kemerahan dan keunguannya, juga mata sayu yang berhasil membujuk sang gadis agar tak mengusirnya. Nampaknya ia tertarik dengan rok motif polkadot yang dikenakan si gadis. Mungkin bulatan-bulatan ungu itu dianggapnya permen. Sang gadis tak mampu menyembunyikan rasa gembira di balik cemberut yang dibuat-buat. Sang wanita berpandangan dingin itu sangat mengerti apa yang gadis kecil itu inginkan.
“Bolehkah aku merawatnya?”
“Tidak. Dan kau tahu itu.”
Betapa kecewa sang gadis kecil dengan keputusan sang wanita berpandangan dingin. Meski begitu, ia tak mampu menolaknya. Rusa itu bergeming dan terus menatap ke jendela rumah di mana sang gadis kecil berada. Diam-diam, sang wanita berpandangan dingin menatap lurus pada rusa itu.
***
Gadis itu telah diubah masa. Meski tak pernah berlaku hitungan waktu di sini, namun ia mengerti bahwa ia bukan lagi si gadis kecil rok polkadot yang senang membaca buku di bawah pohon. Di sela rambut kepang besarnya yang merah keunguan itu, tanduk yang bercabang dan megah menghiasi kepalanya. Matanya memancarkan cahaya berbeda. Sendu dan sayu, seperti mata rusa. Ia pun tak lagi bertemu dengan siapapun semenjak ia berada di negeri ini. Negeri di mana cahaya tak pernah habis, dengan matahari yang tak pernah tenggelam. Seluruh penghuninya tak pernah mengenal langit malam yang kelam. Nama tempat ini Negeri Cahaya. Tempat di mana bunga matahari merajai setiap sudut. Masing-masing mereka tumbuh dari benih dan mendewasa dalam waktu yang singkat. Hingga akhirnya menjadi sebuah bunga matahari dengan tangan dan kaki seukuran anak-anak manusia. Mereka tertawa, berlari, bermain, bercanda, apa saja. Namun belakangan bunga-bunga itu menjadi suram dan berbeda.

Mereka semua terdiam dan menundukkan kelopak ketika seorang wanita melintas. Langkahnya seanggun dan selembut angin sepoi. Bunga matahari kecil yang cerewet dan banyak bertanya merasa terpesona oleh sang wanita.
“Siapa ia?” ucapnya berbisik ketika sang wanita sudah menghilang.
“Peri Bertanduk Rusa.”
“Aku ingin bicara dengannya.”
“Gila kau! Kau tahu kan, negeri ini menjadi suram sejak kedatangannya? Tak ada yang berani dengannya.”
Bunga matahari kecil itu menggerakkan kelopaknya.   
***
Dengan suara mencicit dan keberanian penuh, bunga matahari kecil itu menatap mata sang peri.
Peri Bertanduk Rusa menatap benar sang bunga kecil. Meski mengetahui setiap hal yang terjadi di negeri ini, sang peri belum pernah mendapat perlakuan dari sekuntum bunga yang berani.
“Darimana kau berasal? Mengapa kau ada di negeri kami?”
Sang peri dengan wajah yang tenang, diam sejenak sebelum memulai ceritanya.
“Di negeriku, kutukan yang diciptakan ibu tak sempurna dan kembali padaku. Aku mesti menanggung takdir menjadi manusia setengah rusa. Ibuku tewas diadili oleh para laki-laki yang merasa terancam dengan keberadaannya. Seorang diri aku diasingkan di negeri ini. Meski tak melakukan kesalahan apapun, namun aku yang mesti menanggung akibatnya.  Sesungguhnya, aku ingin kembali ke negeriku.”
Sang Peri Bertanduk Rusa dengan tenang mengakhiri kisahnya.
“Lalu, mengapa semua bunga takut padamu?”
Kali ini peri itu tak kembali menjawab. Ia hanya tersenyum.
***
Negeri Cahaya berjalan seperti biasa, setelah lama mereka mendapat pahlawan : si bunga matahari kecil yang banyak bertanya. Bunga matahari pencerita berkisah pada bunga matahari muda.
“Apa jadinya dengan si cerewet itu?”
“Ia memang penuh rasa ingin tahu. Namun ia lupa. Bunga matahari selalu menjadi menu santapan favorit para rusa.”
“Kalau begitu, ia bukan pahlawan. Semestinya peri itu masih ada di negeri ini, kan?”
“Tidak. Ia memang pahlawan. Peri itu juga lupa. Kita memiliki bulu-bulu tajam pada permukaan tubuh sebagai senjata. Mereka berdua mati.”
“Lalu bagaimana dengan negeri asal sang peri?”
Bunga pencerita berpikir sejenak.
“Kini, di negeri itu tak ada lagi rusa dan wanita.”
***

No comments:

Post a Comment