Pages

Thursday, November 14, 2013

#5BukuDalamHidupku | Electone School for Children, Step 1



Gadis kecil itu tak pernah sekalipun terpikir bahwa kelak ia akan mempunya teman sesetia itu. Bahkan ketika ia memandang dan melewati benda besar itu setiap kali. Berkali-kali mesti menerima marah karena bermain di kolongnya, atau memanjat-manjat pada kursinya, ia tak pernah tahu benda apa itu. Mungkin sejenis meja, atau patung besar yang sekadar ditutup kain. Belum lagi letaknya yang berada di ujung ruang, di dekat lorong di mana lemari-lemari buku milik opa tinggal. Hingga suatu hari beberapa tahun kemudian, ia melihat sang tante yang membuka kain dan tutup benda besar itu. Ia terpana dan bertanya. Apa itu? Organ katanya. Ternyata ada banyak tombol garis panjang hitam-putih yang diatur berjajar. Dan hebatnya, itu dua tingkat juga mengeluarkan bunyi. Diam-diam ia menyimpan bunyi itu di dalam kepalanya.

Beberapa tahun kemudian bunyi itu masih ada. Di usianya yang kesepuluh, setelah lelah meniup pianika tua warisan turun temurun, sang ayah mendaftarkannya kursus musik. Dengan gembira, ia menyambut organ tua pindahan dari rumah opa. Ia pun bertemu dengan seorang perempuan berkacamata. Kata tante yang mengantar, kelak beliau akan menjadi guru si gadis kecil. Malu-malu gadis itu menjabat tangan sang perempuan. Lalu sang perempuan meminta si gadis untuk memainkan lagu apa saja pada organnya. Organ yang jauh lebih canggih dan modern daripada sekadar organ warisan opa. Banyak tombol bercahaya yang tak ia mengerti. Bingung ingin memainkan lagu apa, ia menatap takut-takut pada sang tante, seakan minta diselamatkan. Namun sang perempuan berkata agar si gadis memainkan lagu apa saja yang ia bisa. Satu-satunya lagu yang selama ini mampu ia mainkan dengan pianika adalah lagu “Lihat Kebunku” ciptaan Ibu Sud dan “Bintang” yang dinyanyikan oleh salah satu band di tahun 90an. Semua not angkanya dituliskan di selembar kertas HVS oleh sang papa, yang senang bermusik, namun tak pernah mengenyam pendidikan formal musik sedikitpun. Merasa “Lihat Kebunku” terlalu kekanakan, ia memilih memainkan sepenggal lagu “Bintang”. Mi Sol Re Mi Fa.. dan seterusnya berputar di kepalanya, kemudian ia terjemahkan dengan jari-jari kecil, mencoba memainkan sebaik sebelumnya, meski akhirnya lupa di banyak bagian. Mulai saat itu, saya, si gadis kecil penakut itu, diterima sebagai murid beliau, sang perempuan. Dan dibawakan sebuah buku yang merupakan buku pelajaran musik pertama, “Electone School for Children, Step 1” untuk dibawa pulang.

***

Selama sepuluh tahun itu, saya sama sekali tak mengerti tentang teori musik apapun. Di dalam buku pertama itu, saya langsung tertarik dengan gambar ilustrasi organ juga gambar-gambar lucu khas anak-anak. Gajah lucu yang ditarik sang pawang, sekelompok kelinci dan rakun yang berbaris, juga santa dan rusanya. Tapi saya sama sekali belum mampu membaca apa arti kecambah-kecambah terbalik di atas garis-garis. Guru saya menjelaskan semuanya. Bahwa itu adalah not balok, bahwa garis-garis itu membagi dirinya menjadi beberapa bar, dan lain sebagainya. Lagu pertama saat itu, “Lightly Row” lagu rakyat Jerman dengan ketukan 4/4 dan not ketukan satu yang sederhana. Mengikutinya, “Tug of War”, “Quiet, Quiet”, “Mary Had A Little Lamb” dan lagu-lagu lainnya. 

Saya merasa memiliki teman baru sejak itu. Teman yang selalu mendengarkan apa yang saya katakan, tanpa menyela atau bertanya. Teman yang selalu membagi melodi indahnya kepada saya ketika sedih atau senang. Teman yang selalu berhasil membuat saya merasa tak sendiri.

Meski organ warisan opa sudah tak berbekas sejak lama. Meski kini organ itu telah digantikan dengan keyboard, kemudian piano. Namun buku itu tak pernah pergi. Ia selalu mengingatkan saya pada sebuah langkah pertama. Pertemuan pertama dengan hal yang selamanya mengubah hidup saya. Yang memberikan musik sebagai salah satu hal terbesar yang saya miliki, juga seorang guru yang tak pernah seharipun tak saya sukai sejak tiga belas tahun waktu mengajarnya. Meski tak lagi menggunakan organ yang sama, opa yang telah lama pergi menuju Tuhan, juga guru yang telah terpisah jauh di benua berbeda, buku pertama itu masih berada di samping piano saya. Terselip di antara buku dan partitur yang lain. Terkadang, saya membuka halaman dan memainkan beberapa lagunya. Demi mengingat kenangan, juga awal pertemuan yang terlalu berkesan untuk diabaikan.   



- Nabila Budayana -

No comments:

Post a Comment