Selain pecahan uang berwarna
biru, kami sebelumnya tak memiliki definisi lain akan angka lima puluh ribu.
Ah, tunggu. Mungkin ada satu : kami sama-sama menganggap lima puluh ribu adalah
delapan gelas minuman cincau yang menemani (lebih dari) lima jam pertemuan kami
setiap kali. Bertemu pertama kalinya di salah satu acara workshop, juga merasa memiliki
kesamaan minat pada hal yang sama, kami mengumpulkan tekad, kemudian menyatukannya.
Setelah di akhir tahun sebelumnya berhasil merampungkan sembilan puisi, sepuluh
cerita pendek, juga sebelas fiksi pendek di dalam satu sampul yang sama, kami
melangkah kembali. Mungkin hanya langkah kecil dan perlahan, namun pasti.
Saat itu pun begitu. Kami
bertemu, di antara obrolan ringan, tercetus kalimat “Kita harus bikin proyek
bareng lagi” Enam kepala, lima perempuan dan satu laki-laki, sama-sama tak melahirkan
ide baru. Buntu, suram, tak menemukan. Lalu ada satu celetukan dari hasil
candaan : “Lima Puluh Ribu!” berlanjut ada yang menyahut untuk menjadikan Lima
Puluh Ribu sebagai benang merah. Ide-ide itu datang. Berbeda, namun kami gabungkan. Dipilah dan
disatukan. Didiskusikan dan diperdebatkan. Setuju, tidak setuju. Dipilih dan
diganti sana-sini. Hingga akhirnya kami menemukan satu konsep baru yang
disetujui semua kepala.
Kami mencoba melangkah setapak
lebih berani. Mencoba konsep baru yang lebih bebas. Mendatangi tempat di mana
kami bisa bermain, dan bersenang-senang. Kisah bukan lagi dimiliki seseorang
secara utuh. Namun dibagi. Kami berbagi ruang. Kami berbagi plot dan tokoh.
Kisah ditulis estafet. Bahkan sang pencipta kisah di awal tak akan tahu
bagaimana kisah akan menjadi. Seorang marah-marah karena tokohnya yang ‘dihancurlebur’kan,
seorang terkejut karena mendapati ekspektasi yang berbeda, sementara sisanya
sibuk komat kamit berdoa demi undian setiap minggu untuk menentukan urutan. Bukan
berarti semua berjalan lancar-lancar saja. Proyek ini susah bagi kami. Tenggat
waktu yang rapat, genre dan gaya tulisan yang berbeda-beda, pembagian tugas
hingga ke penerbitan, ketidaksamaan persepsi, perdebatan kecil, semuanya
terkadang membuat frustasi, dan ingin berhenti. Namun ada satu yang membuat
kami terus mencoba : keinginan agar proyek ini rampung dan mampu dibaca banyak
orang nantinya.
Setelah proses menulis selesai,
kami pontang panting mengurus semua keperluannya, hingga mengatur mini
launching sendiri. Melobi kanan-kiri, demi menepatkan kelahirannya persis di
tanggal 10-11-12. Sepuluh November 2012. Lanjutan dari buku kami sebelumnya di
9-10-11. Sembilan Oktober 2011. Beruntung, banyak pihak lain yang dengan murah
hati membantu keperluan-keperluan kami. Mengembus napas lega, sore itu melaju
lancar untuk kami. Cukup banyak teman-teman yang berkenan hadir. Bukan acara
besar, memang. Namun terasa cukup bagi kami.
Hingga hari ini, jika ditanya
proyek apa yang paling mengasyikkan? Kemungkinan besar saya akan menjawab “50
Ribu”. Karena saya (dan kami) belajar banyak hal. Bagaimana melepaskan beban
ketakutan, mengenyampingkan keinginan masing-masing, menghargai satu sama lain,
menyatukan karakter yang jelas berbeda. Mereka adalah partner, juga teman.
Bahwa mungkin kelak sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, berapapun itu,
saat kami mungkin sudah alpa atau lupa, akan ada kenangan bahwa kami pernah
melahirkan “50 Ribu” bersama.
Kadang kala ada kerinduan dari
saya untuk menemui mereka kembali di proyek-proyek baru. Namun saya memang suka
lupa. Terkadang ada beberapa hal yang mesti kami maklumi bersama. Kesibukan yang
mengikat, jarak yang semakin lebar, juga waktu yang terus terasa minus. Saya
mengatur langkah, dan membawa lembar(an) “50 Ribu” di kantong saya.
- Nabila Budayana -
No comments:
Post a Comment