Kini, buku-buku perjalanan sedang
menapaki tangga kejayaan dan memiliki ruang yang cukup besar di masyarakat.
Berbagi dan membaca hasil dari suatu perjalanan menjadi terdengar menyenangkan
bagi banyak orang. Nama-nama yang tercetak di buku bukan hanya didominasi oleh
para penulis perjalanan kawakan. Bibit-bibit penulis perjalanan baru kini pun
bermunculan. Mereka yang selama ini menulis untuk halaman-halaman pribadi,
mulai keluar dan menerbitkan buku. Gaya dan ide baru tentang penulisan
perjalanan pun mengikuti pertumbuhan itu. Sejauh apa kiprah para penulis
perjalanan muda itu di dunia travel writing saat ini, dan apa semangat yang
mereka bawa?
Dari perbincangan dan diskusi saya dengan Lalu Abdul Fatah : seorang penulis perjalanan muda, seorang penulis buku "Travelicious Lombok", kontributor di belasan antologi buku perjalanan, editor dan penggagas komunitas "Lombok Backpacker" selama ini, seringkali saya tertarik dengan gagasan yang ia bawa. Di tengah kesibukannya menyelesaikan skripsi, saya ajukan beberapa pertanyaan tentang geliat penulis perjalanan muda dan hasilnya, ia menyajikan sudut pandang yang berbeda.
Dari perbincangan dan diskusi saya dengan Lalu Abdul Fatah : seorang penulis perjalanan muda, seorang penulis buku "Travelicious Lombok", kontributor di belasan antologi buku perjalanan, editor dan penggagas komunitas "Lombok Backpacker" selama ini, seringkali saya tertarik dengan gagasan yang ia bawa. Di tengah kesibukannya menyelesaikan skripsi, saya ajukan beberapa pertanyaan tentang geliat penulis perjalanan muda dan hasilnya, ia menyajikan sudut pandang yang berbeda.
Sejauh apa
sesungguhnya travel writing / tulisan perjalanan dapat diartikan?
Kalau bicara teori, tulisan
perjalanan dibagi ke dalam empat jenis. Ia bisa berupa jurnal perjalanan, buku
panduan perjalanan, buku perjalanan, dan yang saat ini sedang naik daun adalah
sastra perjalanan. Bedanya terletak pada gaya tulisannya. Jika tulisannya lebih
ke arah naratif dan instruktif, itu termasuk catatan perjalanan. Kalau
deskriptif dan instruktif, itu masuk kategori buku panduan perjalanan.
Sementara kalau evokatif (menggugah) dan deskriptif, itu terkategorikan buku
perjalanan. Dan, sastra perjalanan itu lebih bergaya evokatif dan naratif.
Itu teori idealnya. Sebab, ada
juga yang membagi tulisan perjalanan ke ranah komersil dan tidak komersil.
Maksudnya, tulisan perjalanan yang komersil itu lebih menonjolkan eksotisme,
keindahan, dan hal-hal surgawi di dalamnya. Tujuannya memang untuk
membangkitkan fantasi pembaca sekaligus menarik mereka untuk mau berkunjung ke
tempat tersebut. Sebaliknya, tulisan perjalanan non-komersil mengangkat sisi
lain di luar keindahan tempat, kenikmatan kuliner, dan hal-hal menyenangkan
dalam perjalanan. Ia lebih mengangkat sisi humanis, kritik sosial, ataupun
hal-hal yang bersifat perenungan atau kontemplatif.
Tapi, tentu saja pembagian-pembagian
di atas sangat bisa diperdebatkan. Tidak ada batasan kaku, bahkan terjadinya
lintas subgenre pun sangat memungkinkan. Dan, tulisan perjalanan pun jika
dikembalikan ke ‘fitrah’nya adalah tulisan, sebuah ekspresi kebebasan berpikir
manusia. Penulis perjalanan punya hak sekaligus tanggung jawab hendak ke mana
membawa arah tulisannya.
Namun, satu hal yang mesti
digarisbawahi dalah tulisan perjalanan itu bersifat non-fiksi alias faktual.
Bukan khayalan penulisnya. Jika perjalanan penulisnya disampaikan dalam wujud
novel atau cerita pendek, yang tentu saja ada tambahan bumbu-bumbu di sana sini
biar lebih dramatis, misalnya, maka ia sudah masuk ranah fiksi.
Saya kira, ini yang bisa menjadi
ruang lingkup paling jelas untuk tulisan perjalanan. Ia berlindung di bawah
kubah bernama non-fiksi.
Mengapa Anda memilih
tulisan perjalanan sebagai pilihan genre?
Sebenarnya saya masih pemain baru
di genre ini. Saya mulai menekuni tulisan perjalanan sejak 2010. Buku solo
perdana saya berjudul Travelicious Lombok.
Buku yang bisa dikategorikan mixed antara
buku panduan perjalanan dan jurnal perjalanan. Sebab di situ saya tidak hanya
memberi informasi mengenai akomodasi, transportasi, kuliner, dan tips-tips
teknis untuk berkeliling Lombok, tapi juga ada cerita perjalanan saya dari hari
ke hari.
Namun, sebagaimana buku panduan
yang informasi di dalamnya rentan kadaluwarsa, saya mulai beranjak ke travelogue alias cerita perjalanan. Alur
dan gaya bertutur jauh lebih bisa saya lenturkan lewat cerita perjalanan. Tidak
melulu bahasannya hal-hal teknis jika di buku panduan.
Maka, pasca buku solo saya itu
terbit, gairah menulis di genre ini terus meningkat. Jika dalam menyanyi ada istilah
range vocal, begitu pula dalam
menulis. Saya melihat genre tulisan perjalanan ini memiliki range atau jangkauan yang luas,
sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Dan, saya pikir, ada peluang bagi saya
untuk mengeksplorasinya.
Saya pun menulis artikel
perjalanan untuk majalah. Di buku TraveLove,
saya menulis cerita perjalanan yang dibumbui dengan romansa. Di buku Love Journey: Ada Cinta di Tiap Perjalanan,
saya melakukan otokritik atas publikasi yang melulu menceritakan keindahan dan
itu sedikit tidak, juga langsung dan tidak langsung, berdampak pada arus
kunjungan yang membludak di area wisata dan tentu saja berdampak.
Di buku Traveling Note Competition, saya menulis ala jurnal perjalanan saat
berkunjung ke Taman Nasional Way Kambas juga Karimun Jawa. Sementara di buku
yang baru-baru ini terbit, Storycake for
Your Life: Backpackers, saya berkisah dengan gaya yang lebih kontemplatif
dengan sentuhan kocak.
Bagi saya pribadi, meminjam
elemen-elemen fiksi untuk tulisan perjalanan itu jauh lebih menarik. Mengapa?
Saya bisa memainkan alur dan mengeksplorasi gaya bercerita. Dan, itu jauh lebih
bisa saya nikmati. Sebab, sebelum menulis buku solo pertama, saya lebih dahulu
akrab menulis puisi, cerpen, dan naskah drama.
Akhir-akhir ini buku
bertema perjalanan mendapat banyak tempat di antara pembaca. Menurut Anda,
faktor apa yang mendukung fenomena tersebut?
Ada asap, pasti ada api. Jika
buku bertema perjalanan sedang marak disukai pembaca di Indonesia saat ini,
saya kira itu tidak lepas dari kesuksesan serial The Naked Traveler yang ditulis oleh Trinity. Ketika buku itu
dilempar ke publik pada 2007 dan akhirnya dicetak berkali-kali, maka di situ
jelas-jelas berlaku hukum permintaan dan penawaran. Ternyata, The Naked Traveler disukai karena gaya
menulisnya yang blak-blakan dan cenderung kocak.
Kalau saya menerka, hasrat untuk
mengetahui daerah lain beserta manusia yang tumbuh di atasnya merupakan hal alamiah dalam diri seseorang.
Pengalaman-pengalaman tak terduga, menyebalkan, menyenangkan, mengejutkan, dan
seterusnya yang dialami seorang pejalan di daerah lain, memancing rasa ingin
tahu. Apalagi jika pengalaman itu diolah dengan keterampilan menulis yang
bagus, maka peluang untuk mengkhatamkannya sangat besar.
Ujung-ujungnya apa? Permintaan
buku-buku bertema perjalanan pun meningkat. Penerbit pun sigap menyikapi ini.
Mereka menawari pembaca yang skupnya luas dan minatnya beragam dengan buku-buku
perjalanan yang juga beraneka macam. Ada pembaca yang menyukai cerita-cerita
ringan dan kocak, maka pilihan jatuh, misalnya, pada The Naked Traveler. Ada pembaca yang menyukai kisah-kisah
perjalanan penuh petualangan dengan ramuan sejarah yang kental, maka larilah
mereka ke buku-buku yang ditulis oleh Agustinus Wibowo. Ada pula pembaca yang
butuh buku-buku teknis yang akan memandu mereka ke suatu kota, pulau, atau
negara, maka penerbit pun berlomba-lomba menyajikan itu.
Dan, hasrat bertualang dalam diri
pribadi, ditambah asupan buku-buku bertema perjalanan, lantas kawin dengan
maraknya media sosial dan promosi wisata baik dari pemerintah maupun swasta,
klop sudah.
Dari banyak buku
bertema perjalanan, sesungguhnya adakah pengelompokkan jenis-jenis tulisan
perjalanan pada spesifikasi tertentu? Apa kelebihan dan kekurangan
masing-masing?
Pengelompokan ini sudah saya
jawab di atas. Masalah kelebihan dan kekurangan, tentu saja ada. Tapi, ini juga
berbeda tergantung masing-masing orang melihatnya.
Misalnya, saya melihat buku
panduan perjalanan punya kelebihan di sisi teknis dan panduannya. Bagi pemula
dalam aktivitas jalan-jalan, mereka akan terbantu oleh buku jenis ini. Apalagi
jika cetakannya dalam bentuk saku, enteng di bawa ke mana-mana. Buku jenis ini
bisa menjadi alternatif bantuan ketika di daerah yang dikunjungi ternyata tidak
memiliki sinyal untuk akses informasi melalui internet, misalnya.
Namun, tentu saja kelemahannya
adalah pada data dan informasi yang rentan kadaluwarsa. Dan, saya melihat
penerbit-penerbit di Indonesia, masih belum seserius The Lonely Planet untuk terus memperbarui konten buku-buku panduan
perjalanan terbitan mereka.
Untuk jurnal perjalanan, ini bisa
jadi alternatif bacaan yang mengasyikkan. Bisa dibawakan dengan gaya ringan
tapi tetap berisi. Tapi, penilaian pembaca tentu akan beragam. Jika tidak
diolah dengan dinamis, jurnal perjalanan bisa akan jatuh membosankan. Tapi,
jika diselipi dengan humor, satir, kritik, dan elemen-elemen lainnya, saya yakin
akan mampu membetot perhatian pembaca. Hal ini berlaku juga untuk buku
perjalanan.
Sementara, sastra perjalanan,
saya melihat kekuatannya pada kemampuannya untuk lintas waktu dan tempat. Jika
mencermati buku-buku Agustinus Wibowo, misalnya, ia akan tetap asyik dibaca
pada 10 atau 30 tahun mendatang, bahkan mungkin lebih dari itu. Mengapa? Karena
telah ada usaha untuk menguniversalkannya. Universal yang saya maksudkan adalah
nilai-nilai yang ia sematkan dalam kisah-kisah perjalanannya, bisa saja relevan
dengan kondisi pada 10 atau 30 tahun mendatang. Apalagi tulisan-tulisannya
berkutat pada urusan sosial, politik, agama, budaya, dan sejarah. Bukankah ada
yang bilang kalau sejarah akan berulang? Dan, potensi keberulangan itu
menyebabkan ia berpeluang pula untuk punya relevansi dengan kondisi
mendatang.
Menurut pengamatan
Anda, bagaimana respons pembaca pada buku perjalanan dibandingkan dengan, sebut
saja, buku-buku fiksi?
Genre buku itu punya peminatnya masing-masing. Meskipun
tentu saja tidak kaku bahwa seorang pembaca
akan melulu baca buku yang sesuai genre minatnya. Sebagai penikmat buku
perjalanan juga buku fiksi macam novel, saya mengamati bahwa buku perjalanan
masih belum bisa menyaingi dominasi buku-buku fiksi.
Tak perlu jauh-jauh menganalisi.
Cobalah ke toko buku. Bandingkan jumlah buku-buku fiksi dengan buku perjalanan.
Di beberapa toko buku yang saya kunjungi, rak buku perjalanan masih cuma satu.
Sementara buku-buku fiksi, seperti novel, tak usah ditanya. Bejibun! Apalagi
novel lebih bisa mengusung tema-tema yang jauh lebih beragam ketimbang buku
perjalanan.
Ya, dunia khayalan memang jauh
lebih luas dari dunia nyata.
Selain menerbitkan
buku sendiri, Anda juga seringkali mengkoordinir dan berkolaborasi dengan
penulis perjalanan muda lainnya dalam antologi kisah perjalanan. Ada hal
menarik yang bisa dibagi tentang itu?
Saya membaca potensi. Mungkin
bisa dibilang kalau saya ‘meminjam’ mata editor. Sebagai narablog aktif, saya
melihat banyak tulisan perjalanan yang bagus. Bagi saya, sayang jika hanya
berakhir di blog, tidak dibukukan. Meskipun hal ini pun masih bisa didebatkan
di era internet saat ini yang justru lebih gampang mengakses konten di dunia
maya daripada ke toko untuk membeli buku perjalanan.
Selain itu, saya melihat ada
potensi pembaca buku perjalanan. Dengan berkaca pada diri saya sendiri yang
haus akan buku-buku perjalanan, maka saya menerjemahkannya demikian pula pada
pembaca di Indonesia.
Maka, saya adakan audisi untuk
menjaring tulisan-tulisan perjalanan. Audisi terakhir yang saya lakukan adalah
untuk buku Love Journey 2: Mengeja Seribu
Wajah Indonesia. Dari segi tema, banyak yang bilang itu menarik dan
menantang. Mengapa? Karena saya menantang para calon kontributor untuk menulis
catatan perjalanan mereka di Indonesia tapi dari sudut pandang yang lebih
kritis. Misalnya, bagaimana mereka melihat kondisi tempat wisata yang banyak
sampahnya, bagaimana mereka mengisahkan kehidupan pembatik, kondisi sosial yang
tercermin dari para pedagang di pasar, atau kisah perjalanan ke situs wisata
yang ternyata menyimpan sejarah yang jarang diungkap.
Dengan antusiasme yang lebih
besar dari audisi sebelumnya untuk Love
Journey: Ada Cinta di Tiap Perjalanan, saya berani bilang bahwa tulisan-tulisan
perjalanan masih diminati. Potensinya besar dan tinggal kejelian kita untuk
menggalinya dengan menghadirkan tema-tema yang unik dan menarik.
Dengan semakin
gencarnya buku-buku perjalanan yang bermunculan, apa itu menjadi indikasi bahwa
para pejalan mulai tertarik untuk membagi pengalamannya melalui tulisan?
Saya kira demikian. Selain karena
faktor hukum permintaan dan penawaran tadi. Bagaimanapun itu sebuah kesadaran
positif. Kesadaran untuk berliterasi di antara para pejalan. Bahwa, sekalipun
destinasi yang dikunjungi sama, tapi perspektif yang berbeda akan menghasilkan
pengalaman yang juga berbeda. Hal itu akan tampak dari tulisan-tulisan
perjalanan yang mereka ramu.
Topik apa yang
menjadi jamak diangkat oleh para penulis perjalanan muda? Apa ada penulis
perjalanan tertentu yang sedang banyak menjadi acuan mereka?
Saya melihat bahwa para penulis
perjalanan muda masih terjebak pada destinasi. Yakni, bercerita tentang tempat
yang mereka kunjungi. Masih jarang yang mencoba untuk menceritakan hal dan cara
yang lebih subtil. Maksudnya, berupaya untuk menangkap makna-makna lain dalam
perjalanan mereka untuk kemudian dituliskan. Entahlah alasannya apa. Bisa jadi
karena kekurangan referensi untuk menulis yang lebih dari sekadar bercerita
tentang destinasi. Jawaban paling mudah dan telak bisa kita temukan di rak buku
perjalanan di toko buku. Akan terlihat perbandingan yang mencolok antara
buku-buku perjalanan yang bicara destinasi semata dengan buku yang berkisah
tentang kedalaman, tentang makna perjalanan.
Untuk acuan, saya melihat Trinity dan Agustinus Wibowo masih
terkuat untuk saat ini.
Bagaimana karya-karya
penulis perjalanan muda dalam ruang literasi Indonesia? Semangat apa yang
mereka bawa?
Sebelumnya saya merasa harus
memberikan apresiasi positif pada semangat para penulis perjalanan muda. Jika
mau direnungkan lebih dalam lagi, di luar urusan pencapaian pribadi kala
bertualang di sebuah wilayah, ada spirit dan nilai yang mereka tularkan pada
pembaca. Kalau saya menerjemahkannya sebagai spirit untuk menjelajah, mengenal
orang dan budaya yang berbeda, juga untuk menikmati sekaligus menemukan
hikmah-hikmah tersembunyi di bumi.
Apalagi di era yang rentan
konflik etnis atau agama yang diakibatkan oleh pemikiran sempit. Maka, di
sinilah penulis perjalanan bisa memainkan perannya. Mereka bisa memancing
pembaca untuk mengenal orang lain dengan segala keunikan mereka, baik adat,
bahasa, kuliner, budaya, dan sejarahnya. Dan, tentu saja ini bisa membantu kita
untuk meluaskan pandangan sekaligus wawasan.
Terlepas dari polemik tulisan
perjalanan yang dianggap memicu ekses negatif bagi rusaknya destinasi, saya
kira perlu dibangun pula kesadaran pada penulis perjalanan agar lebih bijak
dalam menulis. Bijak ini maknanya luas. Silakan masing-masing menerjemahkannya.
Apa kendala yang
dihadapi para penulis perjalanan muda? Apa yang dibutuhkan mereka untuk
berkembang?
Referensi. Saya kira, saya dan
penulis perjalanan muda lainnya, butuh lebih banyak lagi referensi buku
perjalanan. Saya tidak mengatakan ‘referensi buku perjalanan yang baik’ karena
itu sifatnya subjektif sekali. Karena pada dasarnya untuk tahu bahwa sesuatu
baik, tentu karena ada pembandingnya yang buruk. Baik dan buruk, dalam ranah
buku perjalanan, juga relatif.
Ketika referensi bacaan lebih banyak, cakrawala pemikiran
meluas, maka ini pun akan berefek pada kedalaman tulisan.
Sekali lagi, referensi. Banyak membaca, banyak menulis.
Apa yang Anda
harapkan pada dunia penulisan perjalanan Indonesia beberapa tahun ke depan?
Saya berharap ini bukan tren
semata yang akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Dan, untuk tetap
membuatnya berada di atas permukaan, maka cara satu-satunya adalah dengan terus
berkarya.
Dan, saya sangat optimis dengan
itu. Mengapa? Karena eksistensi tulisan perjalanan berbanding lurus dengan
wilayah di bumi ini. Menuliskan satu wilayah saja bisa dari berbagai sudut
pandang. Coba bayangkan ada berapa desa, kota, distrik, pulau, provinsi,
negara, dan benua yang bisa dieksplorasi dalam tulisan-tulisan perjalanan.
Medianya pun bisa jadi amat
beragam nantinya. Tidak melulu dicetak di atas kertas, tapi juga bisa dinikmati
melalui media digital. Jika saat ini tulisan perjalanan sudah bisa dinikmati
versi buku elektroniknya yang interaktif, maka ke depannya bisa lebih atraktif
daripada itu. Membuat versi buku suara (audio
book), misalnya, atau hal-hal yang saat ini belum terpikirkan oleh manusia.
Industri perbukuan tampaknya masih sangat terbuka untuk
berbagai nama baru dan konsep-konsep yang juga segar. Perjalanan, perkara
menjelajah tempat dan menghayatinya, akan terus menjadi daya tarik tersendiri
untuk dituliskan. Henry Miller pun menegaskan inti dari perjalanan, “Tempat
tidak pernah menjadi tujuan seseorang, tetapi tujuannya adalah suatu cara baru
melihat hal-hal.”
-Nabila Budayana-