Pages

Monday, July 21, 2014

Sluman Slumun Slamet

"Hidupnya juga kontemporer. Gila."

Di tengah remang cahaya proyektor, wajah-wajah itu terbius oleh ucapan-ucapan selamat ulang tahun sekaligus komentar-komentar menarik dari rekan-rekan sang 'Pemilih Jalan Sunyi' : Slamet Abdul Sjukur.

***

Pagi hari, 15 Februari 2014, sekitar pukul tujuh saya mengecek ponsel yang baru menyala. Satu ruang obrolan membuat saya cukup terkejut. Seseorang mengutip satu kalimat dari buku yang saya tulis, diikuti nama pengirim yang meminta alamat e-mail saya. Pesan itu datang dari bapak musik kontemporer Indonesia. Ialah Slamet Abdul Sjukur yang berkata "Gak apa. Saya masih hidup." Itu gurauannya ketika saya meminta maaf saat saya lupa menghubungi. Saya pun iseng bertanya buku apa yang sedang dibacanya. Sempat saya kira jawabannya akan berkisar pada buku-buku teori musik. “Grand Design” milik Stephen Hawking langsung meluruhkan dugaan saya. Seseorang yang menatap hidup dengan berbeda. Namun tak selalu berupa canda. Ketika beliau menanyai saya tentang bagaimana pendapat saya akan suatu pergelaran musik, ia tiba-tiba nyeletuk “Menurut saya itu karena pikiran yang terlalu terkotakkan” kira-kira begitu perkataannya yang tertuju untuk saya di tengah-tengah saya menyetir, dan beliau duduk di bangku penumpang di samping saya – saat itu beliau percaya saja pada seorang anak muda yang menawarkan tumpangan seperti saya -  Sepanjang perjalanan hingga hari-hari berikutnya saya terpikir apa yang dimaksudkannya. Jawaban yang tertera di kepala saya hanya sebatas “Saya mesti meluaskan wawasan dan mengambil sudut pandang yang berbeda.”

Saya beberapa kali disenggol Mbak Gema Swaratyagita untuk hadir di acara PMS (Pertemuan Musik Surabaya). Beberapa kali pula saya mangkir. Tak bisa hadir. Bosan juga meminta maaf pada Mbak Gema dan Pak Slamet. Hingga hadirlah serangkaian acara Sluman Slumun Slamet merayakan ulang tahun ke-79 sang musisi. Mencari-cari waktu untuk hadir, saya bertekad untuk menikmati pamungkasnya di 21 Juni 2014 lalu. Begitu hadir, pendopo STKW Surabaya disulap remang dan hening. Keramaian di sana, namun wajah-wajah di balik keremangan itu hanya samar. Saya kemudian mengambil posisi lesehan dan siap menikmati pertunjukan. Di tengah pendopo grand piano hitam mengambil sebagian besar ruang, sementara seperangkat gamelan tertata di bagian belakang. Saya terhanyut sejak komposisi pertama. Komposisi “Kabut” yang dimainkan langsung oleh penciptanya, Slamet Abdul Sjukur, mengisi malam dan kanvas hening yang diberikan audiens. Kabut terasa nyata bersanding dengan malam. Kemudian dengan cantik Gema Swaratyagita membawakan “Tobor”. Ekspresi Gema yang berbicara semakin menampilkan keapikan “Tobor”. Setelah sibuk terpesona dengan “Tobor”, pergelaran malam itu dilanjutkan dengan Pak Slamet dan Gema yang duduk di balik meja yang sama. Mereka bersisian, menampilkan musik dari sepatu dan peralatan keseharian lainnya. Hingga akhir, kelompok Gamelan Kyai Fatahilah menampilkan “Tetabeuhan Sungut” dan “Game-Land 1”. Mereka menampilkan komposisi yang 'dihasilkan dari mulut' dan seperangkat gamelan yang telah disiapkan. Musik yang disajikan sangat dinamis. Terkadang setenang malam dengan nada 'satu-satu'. Di detik berikutnya mampu riuh dengan segala rupa bunyi perangkat gamelan. Pergelaran malam itu terkadang diiringi dengan berbagai bunyi lainnya. Derum motor atau alarm mobil dari lingkungan sekitar. Bagi saya, “kanvas” berupa sunyi mungkin sudah tercemar. Namun berbeda bagi seorang musisi. Musik tetap harus berjalan, bunyi-bunyi lain (barangkali) adalah sebuah spontanitas yang datang mengisi pertunjukkan. Bunyi-bunyi itu juga musik. Musik yang disajikan seorang Slamet Abdul Sjukur kiranya telah menjadi familiar di antara para audiens. Sekumpulan anak muda yang duduk persis di belakang saya, misalnya. Mereka bahkan asik bersenandung kecil ketika “Kabut” dimainkan.

Musik-musik itu masih terbayang di kepala saya ketika perjalanan saya membaca Sluman Slumun Slamet : Esai-Esai Slamet Abdul Sjukur (1976-2013). Berbeda, tak biasa, apa adanya, seringkali satire, mencerahkan. Apa yang disampaikan seseorang yang memilih jalan berbeda dari kebanyakan orang selalu menyenangkan. Apa karena kita yang terlalu dikotakkan aturan dan 'jalan normal yang seringkali dianggap sebagai 'jalan paling baik', sebuah batasan yang selalu sama. Slamet membuatnya berbeda. Jalan pikir dan sudut pandang yang lain. Kurang lebih, Slamet dapat dibaca melalui kumpulan esainya “Sluman Slumun Slamet” yang diterbitkan oleh Art Music Today. Sang maestro membawa karakter musik kontemporer bersamanya. Mungkin akan banyak yang bertanya-tanya apa maksud musik kontemporer itu. Menghadapi reaksi-reaksi tersebut, Slamet terang-terangan dalam esainya.

“Tidak ada salahnya kalau orang meragukan musik kontemporer. Musik demikian memang sukar dimengerti, tidak enak didengar dan tidak karuan.” (hal. 6)

Namun, ia pun memberikan penjelasan lanjutan.

“Dan sesungguhnya persoalan musik kontemporer (untuk hanya menyebutkan musik) merupakan jalinan sejumlah masalah yang masing-masing meminta pembahasan yang hati-hati.” (hal.6)

Dan sebuah kalimatnya menjadi pemertegas “Satu hal yang setidak-tidaknya sukar dipungkiri, bahwa musik tidak pernah berhenti dalam memperluas daerahnya. Apa yang dianggap kemarin tidak musikal, sekarang malah bisa menjadi ramuan yang paling sedap. Suara apapun bisa menjadi musik.” (hal. 7)

Slamet meminta pembaca berkaca diri dengan apa yang ditulisnya,

“Orang bahkan cepat menuntut “haknya” untuk mengerti dan tidak segan-segan mengadili musik apa saja, termasuk musik yang di luar kemampuan pencernaan mereka.” (hal. 11).

Slamet pun tak segan membagi hasil obrolannya dengan musikus-musikus asing. Misalnya saja dengan Ton De Leeuw, seorang tokoh musik penting.

“Banyak yang mengira bahwa musik kontemporer itu ialah musik yang bermula dari beberapa gelintir komponis di barat yang terlalu individualis dan terlepas dari masyarakat. Seolah-olah musik kontemporer itu musik orang Barat yang tidak karuan. Ada pula yang menganggap musik tersebut musik sekadar bunyi dan asal bunyi saja.” (hal. 72).

Dalam buku ini, penulis banyak ‘berlaku’ nyentrik, sesuai dengan karakter penulisnya. Slamet banyak bercerita tentang apa itu musik, cara mendengarkannya yang mungkin akan menjadi masukan untuk pembaca. Misalnya saja, Slamet menulis tentang musik yang merupakan soal saat. Musik adalah kapan kita menyadari adanya suara. Musik memiliki ruang besar pada Slamet hingga ia memandangnya dengan cara yang dalam dan penuh makna. Ia bahkan tak segan mengkritik musikus barat yang kurang memperhatikan corak dan unsur ruang dan hanya memikirkan dinamika nada dan irama. Slamet pun mampu menghubungkan musik dengan apa saja. Dalam esainya yang berjudul “Jakarta Mementaskan Musik Elektronik” misalnya, ia menghubungkan kedamaian ala seorang yogi, Sri Aurobindo dengan musik.

“Kedamaian di sini adalah persenyawaan antara suara-suara musikal dan bunyi-bunyi yang biasanya tidak kita anggap sebagai musik...” (hal. 18)

Dalam buku tersebut, Slamet juga membahas banyak hal. Antara lain tentang pendidikan seni dan sikap musikus yang masih banyak ‘keliru’. Yang menarik bagi saya saat beliau membahas tentang sifat individualis dari piano. Sangat tajam dan tegas. Beliau mampu menghubungkan piano dengan sifat dasar manusia. Gaya penyampaiannya yang apa adanya, berani, percaya diri, yakin dan penuh sindiran itu akan membuat pembaca seringkali terbelalak. Jangan kira seorang musikus hanya akan membahas musik. Bahkan akan ada korelasi musik dengan fisika kuantum dan fisika mekanik untuk pendekatan musik Debussy. Ia pun berkisah tentang partitur, sejarah cadenza, penekanan bahwa keberadaan musik sama normalnya dengan hal-hal lain yang kita hadapi sehari-hari.    

Kemudian bukan berarti ia lupa memandang hal besar. Slamet juga menyorot tentang sikap musik negeri ini :

“Ketekunan yang bergairah ternyata adalah salah-satu cara yang paling cocok sampai pada saat ini untuk berbuat musik yang sungguh-sungguh di Tanah Air kita, dan bukannya tergantung pada oportunisme serta semboyan-semboyan yang hanya membuatnya geli.” (hal. 64)

Ia pun menengok pada banyak hal lainnya. Kritik tentang kebergantungan seorang musikus pada partitur seringkali membuat pengalih dari keutamaan musik itu sendiri. Juga pengertian tentang musik yang seringkali terbatasi. Beberapa kali Slamet menyinggung bahkan membahas dengan cukup dalam korelasi antara Debussy dan gamelan. Bukan hal yang aneh ketika seorang besar memasukkan nama-nama besar sebagai pembahasannya. Selain Stravinsky, Debussy, Vivaldi, maupun Amir Pasaribu, ia dengan bijak menyebut nama-nama baru berbakat layaknya Bernadeta Astari (di penampilan saat ia berusia 15 tahun). Mengatakan perspektifnya tentang kekurangan bakat baru itu untuk berkembang. Slamet memperluas pandangan dan area bermainnya bukan pada satu standar. Ia memutuskan menjelajah dan mencoba berbagai kemungkinan-kemungkinan. Meski begitu, bukan berarti ia berhenti menganalisa teori-teori semacam kromatik Bach dan relative minor Chopin.

Penekanan pada saya agar tak terjebak persepsi yang ditekankan oleh Agustinus Wibowo pada tulisan-tulisan perjalanannya, Gobind Vashdev pada konsep kebahagiaannya, juga kembali ditekankan oleh Slamet Abdul Sjukur melalui esainya. Namun ini tentang persepsi teori musik yang sudah terlanjur cenderung dianggap sebagai 'keharusan'. Ia mencontohkan bagaimana seorang komposer besar seperti Chopin mengkritisi dan menghilangkan persepsi dengan tak lagi menganggap tangga nada yang paling mudah adalah C, berdasarkan struktur jari tangan. Slamet juga merambah ranah psikologis tentang mendengar warna dan melihat nada. Kemampuan sinestesia pada beberapa komponis yang ia ungkapkan sejalan dengan yang dikatakan Oliver Sacks, seorang dokter dan dosen Neurologi Klinis dan Psikiatri di Universitas Columbia, melalui bukunya “Musicophilia” yang mengupas tentang fenomena sinestesia pada manusia bukan sebagai metafora atau asosiasi, namun sebagai hal yang konkrit. 

“Musikus-musikus besar selalu menunjukkan kepada kita bahwa musik itu tidak semiskin yang kita sangka.” Seorang Slamet Abdul Sjukur telah menunjukkan itu dengan jalannya sendiri, dengan caranya sendiri. Tentang makna musik, memaksimalkan pendengaran dan rasa untuk menikmatinya, bahkan tentang keberanian untuk menjadi berbeda.    

Slamet tak hanya menyorot tentang teknis dengan berbagai teori yang barangkali sukar dimengerti. Ia berpetualang jauh ke dalam. Musik bukan hanya menjadi sekadar sekunder. Namun ia menjadi hidup, menjadi sesuatu yang krusial dengan penggalian yang tak habis-habisnya. Ia berdampak sebegitu besar. Menentukan rasa, sikap, dan jalan pikir.

Lantas dengan semua itu, saya yang awam dan dangkal ini membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang Slamet Abdul Sjukur. Semua bunyi adalah musik baginya. Apa yang dipikirkannya? Atau, akankah melelahkan untuk “mengkonversi” semuanya menjadi musik? Itu mungkin hanya menjadi sebatas pertanyaan konyol saya belaka. Musik berarti jauh lebih besar untuk seorang yang mencintai musik sebagai hidupnya. Cara berpikir dan mendengar seperti itu mungkin justru yang membuatnya merasa damai dan tenang. Ladang inspirasinya sebesar dunia. Betapa ‘terkotaknya’ cara saya dalam menikmati dan memahami musik patut kembali dikoreksi.

Slamet sangat berani, satire bahkan mungkin bagi sebagian orang sarkastis dalam tulisan-tulisannya. Namun itu berangkat dari idealismenya terhadap musik. Bahwa musik tak sekadar permukaan, namun kehakikian. Bukan sampingan, namun bagian dari keutamaan. Setelah saya menutup halaman terakhir, backcover menyajikan kalimat yang kuat :

“Saya memilih menempuh jalan sunyi, jauh dari yang normal.”

Kalimat penuh kesadaran, keberanian, idealisme, kejujuran dan komitmen. Satu kalimat yang merangkum Slamet Abdul Sjukur. Penegasan bahwa di sanalah pilihan yang beliau ambil, keteguhan, pendekar yang sepenuhnya memikul konsekuensi dan memilih jalannya sendiri : riuh musikal dalam kesunyian.       

Selamat Ulang Tahun, Bapak Slamet Abdul Sjukur.

Kiranya ini sebuah ucapan yang terlambat. Yang bahkan mungkin tak terlalu berarti. Tapi, Slamet Abdul Sjukur dan Sluman Slumun Slamet-nya meminta pendengar dan pengagumnya untuk mendengar lebih baik. Yang berarti juga memaknai hidup dengan lebih baik.



Satu bulan yang rasanya terlalu lama,

21 Juli 2014



Nabila Budayana

1 comment:

  1. "Terimakasih mbak Nabilla atas pemberian "ijasa"-nya.
    Ijasa2 sekolah maupun piagam2 resmi menjadi terasa spt tidak lebih dari label yg nempel di botol obat batuk.
    Salam hangat, Slamet."

    Respon hangat itu dikirim sebagai balasan email saya pada Bapak Slamet tentang tulisan ini. Hari ini, 24 Maret 2015, beliau menempuh perjalanan menuju Tuhan, kembali pada Sang Pemilik Semesta.

    Jika kiranya kapanpun tulisan ini terbaca oleh Anda, sepenuh hati, saya mohon sebaris doa Anda untuk kebahagiaan beliau di sisi Tuhan.

    Selamat jalan, Pak Slamet Abdul Sjukur...

    ReplyDelete