Pages

Wednesday, December 10, 2014

Film Adaptasi, You Are My ABCD : LPM GRI Sby dan NBC Sby 30 November 2014

Wajah-wajah tertekuk dan ungkapan "Ah, nggak sebagus bukunya!"

Penikmat buku, selain kerap merasa antusias, juga kerap kali menjadi salah satu penggerutu. Merasa ekspektasi diruntuhkan dengan tontonan film yang diangkat berdasarkan buku. Entah melenceng jauh dari cerita yang seharusnya, setting yang tak sedetail deskripsi penulis buku, dan banyak lainnya. Sementara di sisi lain, apa pendapat dari seorang film maker?

Berdasarkan hal itu, kami terpikir untuk menemukan jawaban. Seorang penonton yang menjadi raja bagi sebuah karya sinematografi. Lantas bagaimana pendapat dari sisi seorang film maker?

Berkawan sejak beberapa tahun terakhir melalui Nulisbuku Club Surabaya, saya teringat akan seorang Christian Pramudia, Kak Cis, begitu saya memanggilnya. Seorang sutradara, penulis skenario, penyiar radio, penulis dan penikmat buku, pengajar dan seorang dosen media komunikasi film di sebuah Universitas Negeri di Surabaya. Saya ajukan ide tentang konsep diskusi kali ini, ia menyetujui tanpa berpanjang-lebar. Mendapat rekomendasi dari seorang teman tentang sutradara berpengalaman, saya menemukan Mbak Hebz, Hafshoh Mubarak. Sutradara di sebuah animation studio yang memberi perhatian khusus pada dunia animasi dan teater. Dua sutradara yang memiliki kecenderungan berbeda, dipertemukan dalam satu panggung diskusi. Akan menarik, tentu.

Menikmati acara bersama rekan-rekan dari Nulisbuku Club Surabaya, mengapa tidak? Goodreads Indonesia regional Surabaya bersama Nulisbuku Club Surabaya beberapa kali berbagi meja bersama di salah satu perhelatan komunitas. Sahabat-sahabat Nulisbuku Club Surabaya menyambut baik, dan berjalanlah acara ini. Tak ada salahnya juga, mencoba tempat makan baru, Favourite Eatery yang banyak membantu kami untuk memfasilitasi. Terima kasih untuk semua pihak yang telah merelakan usahanya demi terselenggaranya acara tanggal 30 November 2014 ini.

Ketika kami mulai, kak Cis berbagi tentang makna dari adaptasi yang merupakan seni bercerita. Adaptasi ada dalam DNA kita semua, yang berarti kita semua selalu senang untuk menceritakan kembali tentang sesuatu. Mulai dongeng, folklore, hingga obrolan ringan di cafe. Membahas film adaptasi, Kak Cis menjelaskan bagaimana sejarah film adapatasi yang diawali oleh pengangkatan kisah Alice in Wonderland di tahun 1903, masih berupa film bisu dengan 16 adegan. Film adaptasi pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis, Fateful Adaptation yang merupakan pengadaptasian dari buku secara setia dan persis. Dalam hal ini dimisalkan dengan The Fault in Our Stars novel milik John Green yang dialihmediakan menjadi sebuah film yang disutradarai oleh Josh Boone. Juga Loose Adaptation yang merupakan teknik pengadaptasian dengan hanya mengambil beberapa bagian dari buku, misalnya Film Pintu Terlarang yang berdasarkan novel milik Sekar Ayu Asmara. Kak Cis pernah beberapa kali mengangkat film pendek dengan gaya Fateful Adaptation berdasarkan bukunya yang diterbitkan secara self publishing, Curhat Cinta Colongan. Sementara Mbak Hebz sedang berproses dengan film animasinya yang menggunakan teknik pengadaptasian Loose Adaptation, yaitu Knight of Damascuss yang terinspirasi dari novel Salahuddin al-Ayyubi dan Perang Salib III karya Alwi Alatas.

"Film adaptasi tidak berutang apapun pada teks asli." Ucapan dari Richard Kevolin ini menjadi rujukan bahwa sesungguhnya media yang berbeda dari buku, yaitu film, semestinya adalah sebuah media komunikasi dengan bentuk yang berbeda, sehingga menjadi sebuah proses pengangkatan cerita yang bebas. Penulis skenario adaptasi tidak boleh terbebani oleh apapun.

Membahas tentang mengapa sesungguhnya pembaca buku kerap kecewa setelah menonton film adaptasi, Kak Cis dan Mbak Hebz berada dalam satu opini yang sama. Dalam proses pembacaan buku, pembaca menjadi pemeran utama. Mereka yang menentukan sendiri emosi dan ekspektasi. Dengan majemuknya pembaca, ekspektasi pun menjadi bermacam-macam dan tentunya bersifat sangat personal. Untuk itu, bagi seorang film maker, mengangkat film berdasarkan kisah buku bukan merupakan hal mudah dan menjadi tantangan tersendiri. Mereka memiliki beban tersendiri untuk kepentingan proses riset, menyesuaikan dengan durasi film, penerjemahan adegan menjadi bentuk visual, dan banyak hal lainnya yang menjadi tugas besar dari seorang penulis skenario adaptasi. Penulis skenario pun semestinya tak memiliki utang apapun kepada penulis buku. Misalnya saja pada film Harry Potter. Di buku, tiap adegan digambarkan dengan deatil, sedangkan pada film, beberapa adegan digabungkan menjadi satu. Penulis skenario adaptasi mesti bisa mengambil adegan terbaik dari suatu cerita. Bicara tentang ekspektasi, Mbak Hebz sendiri secara personal merasa 'takut' untuk menonton seri Supernova Ksatria Putri dan Bintang Jatuh, karena KPBJ adalah satu-satunya novel yang bisa ia habiskan dalam waktu kurang dari 24 jam.

Rectoverso. Mbak Hebz menyatakan dengan yakin bahwa judul tersebut menjadi film adaptasi terbaik sejauh ini bagi dirinya. Baginya, para sutradara film omnibus tersebut berhasil menghasilkan film yang baik dan persis seperti yang dibayangkannya. Selain itu, Rectoverso ia anggap merupakan hasil yang sangat baik dalam proses adaptasi kisah dari buku, terutama di "Hanya Isyarat" yang disutradarai oleh Happy Salma. Sedangkan seorang Christian Pramudia menjawab tentang film adaptasi terbaik dengan diplomatis dari dua sisi. Sisi dirinya sebagai seorang pembaca yang memilih Ca Bau Kan, dan Noah dari sisi seorang penulis. Ca Bau Kan menyajikan detail yang sangat memuaskan. Sang sutradara, Nia Dinata bahkan menyiapkan properti secara khusus. Kain Batik khusus, desain sepatu, dan begitu banyak hal lain sengaja dibuat untuk kepentingan penyesuaian latar waktu. Sedangkan pengadaptasian Noah ke skenario sangat mengagumkan bagi Kak Cis.

Bagi Mbak Hebz, membuat film tak harus selalu dari novel. Ia banyak berkisah tentang pengalamannya dalam proses pembuatan film Knight of Damascuss. Ia sengaja membuat seorang tokoh baru, bukan seorang Salahuddin Al Ayyubi seperti dalam buku. Baginya, ada yang harus benar-benar sama, namun ada yang tidak dengan berbagai pertimbangan. Pengalihwujudan tokoh Salahuddin ke layar mampu menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Oleh karena itu, Mbak Hebz lebih memilih untuk memunculkan tokoh baru dengan sudut pandang yang berbeda.

Diskusi kami merambat pada mengapa lebih banyak penonton yang lebih memilih untuk menyaksikan film adapatasi Hollywood daripada film adapatasi negeri sendiri. Kak Cis mengungkap resep dari keberhasilan dari film Hollywood, bahwa mereka selalu mengangkat satu tokoh utama. Jalan cerita akan berfokus pada tokoh utama, tujuan akhir dan perjalanannya mencapai tujuan tersebut. Belakangan, film Indonesia mulai melakukan hal yang sama. Contohnya Negeri 5 Menara dengan Salman Aristo sebagai penulis skenario. Meski memiliki banyak tokoh, namun hanya satu tokoh sentral yang menjadi fokus utama di cerita. Selain itu, Hollywood menggunakan teknik skenario tiga babak yang menjadikan dinamika film menjadi apik. Untuk membatasi seknario adaptasi, Kak Cis mengatakan ada tujuh besar poin panduan. Siapa tokoh utamanya, apa tujuannya, apa/siapa hambatannya, bagaimana akhir ceritanya, nilai yang ingin disampaikan, bagaimana kita mengisahkan cerita, serta apa perubahan dari tokoh dalam cerita.

Sama halnya dengan seorang penulis cerita fiksi, seorang penulis skenario harus bisa menentukan dalam satu kalimat yang menggambarkan keseluruhan cerita. Premis. Seorang penulis skenario tidak memiliki banyak waktu untuk mempresentasikan ide ceritanya. Mbak Hebz mencontohkan dengan film Strawberry Suprise yang berangkat dari kalimat "Keinginan untuk memiliki suatu relationship yang bisa dibanggakan." Sementara film Hari untuk Amanda "Kita harus tahu apa yang kita butuhkan dan apa yang kita inginkan." Film Rectoverso berkata "Yang terjadi, terjadilah." Sedangkan film LOVE "Setelah sakit, ada bahagia."

Selain premis, menurut Mbak Hebz, yang perlu diperhatikan dalam film adaptasi adalah pengangkatan hal yang paling menarik dari buku. Novel Bumi Manusia milik Pram sangat berat untuk diangkat ke film. Hal tersebut dikarenakan begitu banyaknya adegan menarik yang bisa diangkat, sehingga cukup membingungkan sang penulis skenario bagian mana yang akan diambil. Dalam penentuannya, ternyata seorang film maker harus melihat dari segi penonton. Apakah film tersebut ditujukan untuk Remaja, Semua Umur atau justru Dewasa. 

Apakah ada batasan atau aturan tertentu dalam melakukan pengangkatan film adaptasi? Dijelaskan, dalam Fateful Adaptation, paling tidak tidak menghilangkan tokoh utama dan tujuannya. Secara garis besar, tujuan dari film serupa dengan buku : menyampaikan pesan pada pembaca. The Fault in our Stars dan 5 cm dapat menjadi contoh. Penonton dapat dengan mudah mengambil inti maupun pesan dari cerita. Apabila 75% penonton tidak mampu membaca pesan dari film tersebut, bisa dikatakan sang pembuat film tidak berhasil. Paling tidak film adaptasi harus disurvei demi kepuasan penonton. Film adaptasi nyaris tidak memiliki perbedaan dengan film yang bukan adaptasi. Yang berbeda, hanya pada pilihan dan resiko. Film adaptasi lebih beresiko karena bermain dan bertaruh dengan ekspektasi yang lebih besar. Film maker harus lebih siap untuk dicacimaki.

Apakah film adaptasi seharusnya selalu persis dengan buku yang diangkat? Tanpa tendensi, Mbak Hebz mencontohkan sebuah film dengan proses adaptasi yang terkesan dipaksakan. Ia cukup kecewa dengan film Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Dengan sutradara sang penulis buku sendiri, film-nya menjadi terlalu persis dengan versi novel. Jika begitu persis, untuk apa film? Hal itu akhirnya mengerucut pada kesimpulan bahwa buku dan film adaptasi semestinya saling melengkapi.

Tentang perbandingan film adaptasi Indonesia dengan film karya luar negeri, Kak Cis dan Mbak Hebz menanggapi bijak. Teknis adaptasi film Indonesia sudah bagus. Namun tidak bisa dipungkiri, akan selalu ada taste yang berbeda di setiap negara. Film Indonesia kurang diminati karena belum cukup mendapat kepercayaan penonton negeri sendiri. "Gimana bisa bagus, kalau nggak ditonton?" Mbak Hebz dan kak Cis sepakat dengan kalimat ini. Film Ekpedisi Madewa, misalnya. Memiliki jalan cerita yang baik, namun terbatas dari sisi special effect. Para ahli special effect negeri sendiri cenderung memilih untuk tinggal dan berkarya di luar negeri. Sehingga, Ekspedisi Madewa tidak begitu banyak mendapat apresiasi. Bendera Sobek kurang lebih mengalami hal yang serupa. Meski berkualitas bagus, namun mengalami gagal tayang karena mesti merugi di tengah proses produksi sebesar 3 Milyar rupiah. Sesekali, film kita gagal diminati di negeri sendiri, namun meraih sukses ketika telah diambil alih oleh rumah produksi lain di luar negeri. Namun kita tidak bisa serta-merta membebankan kesalahan pada penonton. Bisa jadi, ada faktor lain yang menyebabkan kegagalan dari suatu film. Misalnya, karena kurang gencarnya promosi yang dilakukan. Pada akhirnya, Kak Cis dan Mbak Hebz menghimbau siapapun untuk menonton film adaptasi Indonesia.

Selain membahas film, Ravita Cravd, member dari NulisBuku Club Surabaya berkisah tentang buku yang ditulisnya, dan telah di-launching di awal tahun 2014 ini : You Are My ABCD. Berkisah tentang cinta diam-diam, penulis muda ini berani bermain dengan konsep. Sebuah buku dengan satu garis besar cerita, disampaikan dengan berbagai macam gaya. Puisi dan cerita pendek yang disampaikan bergantian. Gaya menulisnya banyak dipengaruhi oleh Dee dan M Aan Mansyur. Ravita juga berkisah tentang berbagai feedback yang didapatkannya dari pembaca. Mulai pembaca hingga dosennya sendiri. Sebagai penulis pemula, Ravita mempunyai potensi untuk terus berkembang.

Pada akhirnya, baik film adaptasi maupun buku Ravita, You Are My ABCD berujung pada hal yang sama. Suatu karya sejatinya selalu membutuhkan harapan dan apresiasi.  


Dokumentasi acara dapat disimak di https://www.facebook.com/nabila.azzahrasyahbani/media_set?set=a.10203281450627533.1073741870.1547767302&type=3

No comments:

Post a Comment