Pages

Thursday, February 26, 2015

Kamisan 3 season 3 : Prasangka

Wanita itu masih mendengarkan dengan begitu jeli. Jam dinding di rumahnya berdetak seakan makin cepat. Ia curiga. Tik tok. Tik tok. Jangan-jangan kepalanya sendiri yang menghitung tak tepat. Ia salah mendasarkan perhitungannya pada detak jantungnya sendiri yang ketukannya makin lama makin kencang. Diiringi gelisah, kepala Sang Wanita dipenuhi dugaan. Apa kecerobohannya menumpahkan tepung saat mengayak berarti langkah yang terjerembab di luar sana. Apa lamunannya yang membuat calon adonan terlalu lama dikocok berarti hati yang tak tenang untuk seseorang yang dipikirkannya. Apa kealpaannya menentukan suhu yang salah berarti impian yang hangus di suatu tempat yang lain. Ia sama sekali tak mengerti. Pada akhirnya, ia memilih untuk menutupi kegelisahannya dengan mengatakan bahwa semuanya adalah prasangka belaka.

*** 

Bertahun lalu wanita itu merasa dunianya berubah seketika. Hatinya tak lagi pada putaran dirinya sendiri. Dunianya selalu penuh dengan kewajiban menulis kisah orang lain ke dalam artikel singkat majalah wanita. Matanya menemukan petualangan baru untuk melihat dunia di luar sana. Dunia yang begitu besar dengan hati yang lapang dan bijaksana milik Sang Pria. 

Pertemuan mereka sama sekali tidak disengaja. Ini terlihat klise. Tentang wanita yang mewawancara seorang generasi ketiga kebangsaan Belanda yang kerap mendengar kisah perjuangan sang kakek ketika mesti menjadi bagian dari Perang Dunia 2. Wanita itu terkesima bagaimana Sang Lelaki bermata biru redup mengisahkan ulang tentang kekelaman Rotterdam dan Middelburg yang dihujani bom secara besar-besaran. Berapi-api, ia seakan menghadirkan kakeknya kembali dengan deskripsi suasana dan ketegangan antara hidup-mati. Bahkan juga rasa kebangsaan sejati yang sangat kental, meski Sang Lelaki saat ini memutuskan untuk memilih tinggal di Amerika. Diam-diam, Sang Wanita merasa kesal. Bisa jadi, kakek Sang Pria mengesankan di hadapannya adalah salah satu Londo yang membuat negaranya dijajah selama ratusan tahun. Tapi kali itu ia mampu menyeimbangkan rasa dan logika. Itu sudah berlalu, dan kini ia mesti mendasarkan dirinya pada sikap profesional.

Obrolan hangat itu berakhir pada mereka yang saling berbagi cerita hidup dengan sepotong Red Velvet dan teh hangat untuk masing-masing. Sang wanita sempat menolak tawaran beberapa buah Poffertjes. 
"Maaf, saya tak terlalu suka rasanya,"
"Ah, seleramu sangat Amerika, rupanya." 
Sang Wanita agak merasa lucu. Ketika teman laki-lakinya sedang begitu menggandrungi kopi, bule Belanda di hadapannya justru sangat menggemari teh. Sang Lelaki bahkan tak goyah sedikitpun dengan promosi membusa Sang Wanita tentang Kopi Gayo atau Kopi Luwak. Berpendirian. Mengesankan.   

Baginya, laki-laki di hadapannya berdiri di dua negara yang bahkan turut andil dalam pengakuan kedaulatan negerinya. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa akan melelahkan untuk menilai segala sesuatunya dari sejarah. Laki-laki di hadapannya masih membuatnya berhasil menciptakan kekaguman.

***
Sang Wanita mengabarkan artikel yang telah dimuat. Mereka berjanji untuk bertemu kembali. Alasannya untuk saling mendiskusikan hasil jadi artikel yang telah terbit. Meski begitu, keduanya tak mampu menutupi bahwa justru sebagian besar hati mereka tergerak untuk menemukan kenyamanan yang sama satu sama lain. Obrolan dan tukar pikiran. Berdiskusi dalam merasa dan menilai segala sesuatunya. 

Red Velvet kedua hari itu berhasil membuat Sang Wanita kesal sekaligus bahagia. Meski harus merasakan sakit karena gigi yang ngilu, bahagia pun ia terima ketika tahu bahwa cincin lah yang terkunyah olehnya. Sementara laki-laki mata biru di hadapannya tak mampu menahan tawa. Sang Wanita begitu menyesal mengapa ia mengenakan celana cargo dan kaos yang sangat kasual hari itu.

"Lain kali, jangan letakkan cincin di dalam kue." sang wanita berlagak mengambek
"Tentu tak ada lain kali. Saya tahu tak perlu melamarmu dua kali. Bukankah jawabannya "ya"?" Laki-laki itu mengerling usil.

*** 

Gelisah Sang Wanita belum juga habis. Justru semakin menjadi. Tak mampu dihitung lagi berapa kali ia menatap pada jam dinding. Tak habis-habisnya ia memainkan cincin di jari tangannya. Percobaan keenam kali membuat Red Velvet tak pernah lepas dari lidah penguji : sang suami. Pernah terasa enak, meski esoknya keras atau hangus. Ia selalu membutuhkan komentar lelakinya. Namun kali ini berbeda. Apakah ia masih boleh berharap? Mulutnya komat-kamit mengucap doa. Hatinya tak pernah lepas dari ketakutan akan kehilangan sang suami yang pamit menuju Amerika untuk mengurus keperluan perpindahan, sebelum ia berganti kewarganegaraan merah putih. Namun berita pesawat yang kehilangan kendali membuatnya cemas dan berharap itu bukan penerbangan Sang Lelaki. Ia terus saja menunggu berita...

***

Takdir boleh saja bertindak kejam. Kecemasan Sang Wanita bisa ditafsirkan apa saja. Siapa sangka Sang Pria telah mengabaikan segala rasa dan berpura-pura. Di tengah gemerlap New York, ia tengah menikmati kue berikutnya. Red Velvet yang tak pernah gagal dalam tampilan dan rasa. Di cake shop itu, ia menggenggam erat tangan wanita. Wanita kebangsaan Amerika penggemar makanan manis dengan lipstik semerah kue di hadapannya.



*ditulis untuk Nulis Kamisan 3 #3

No comments:

Post a Comment