Pages

Wednesday, March 25, 2015

Laki-laki yang Dibelenggu Kakinya

"Sejak kapan?"

***

Aku ditampar. Sekeras-kerasnya, hingga telinga berdenging, wajah memanas dan kepala berdenyut-denyut nyeri. 
"Tumpahkan saja lagi esok!"
Ini pasti perkara bubur sarapan pagi ini yang tak sengaja tersenggol dan berhamburan ke lantai. Hanya karena hal begini kecil saja, putraku bisa begitu marah? Jika aku bukan penyabar, mungkin aku sudah membalas perbuatannya. Asal dia tahu saja, ditampar berkali-kali cukup membuat kebencian menumpuk pada hatimu. Seandainya aku bisa.

***

Aku ingin membaca buku. Rak-rak bukuku yang dipenuhi kilauan buku-buku indah yang telah kukumpulkan dengan susah payah selama ini hanya mampu kutatap dari jauh. Bahkan kebebasanku untuk membaca sudah direbut paksa dari tanganku. Sejauh ini aku hanya bisa membaca beberapa potongan artikel di koran bungkus makan siang atau makan malam. Dan semakin lama aku semakin bosan karena melihat berita kecelakaan lalu lintas atau korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan saja. Jika mereka tak mengizinkanku melihat dunia, setidaknya izinkan aku membaca. Seandainya aku bisa.

*** 

Semuanya mampu kulakukan. Seandainya saja kakiku tidak terbelenggu seperti ini. Manusia macam apa mereka mampu mengikatku seperti ini. Dunia memang sudah berubah. Keadilan dan kebebasan sepertinya sudah menjadi kelangkaan. Dan aku termasuk korbannya. Pantaslah usahaku sehari-hari untuk menggugat mereka sia-sia. Bahkan kuping mereka saja terlalu sombong untuk mendengarkanku, setipe dengan manusia-manusia yang terlena dibuai jabatan dan popularitas. Apa demokrasi di negaraku ini tak berlaku padaku? Aku hanya diperlakukan seperti hewan dan segala gerak-gerikku diawasi. Dunia ini sudah serupa 1984 dan Animal Farm ciptaan Orwell, kalau begitu. Sampai kapan kakiku akan dibelenggu?

***

Seorang wanita setiap hari menghabiskan waktunya dengan memandangi sudut ruang. Tersembunyi, ia tak terlihat oleh sang pria yang duduk di sana. Tak jarang ia menangis. Sesekali bertanya-tanya tentang nasibnya. Ia lelah menjalani hidupnya, dan lelah menunggu waktu itu datang. Waktu untuk melepaskan belenggu di kaki suaminya. Waktu untuknya dan putranya berhenti memberi perlakuan fisik karena begitu liarnya sang suami bertindak. Waktu untuknya menemani suaminya membaca suatu sore di teras belakang rumah. Sampai kapan suaminya mesti tinggal di dunia yang berbeda. Dunia yang logika dan kesadaran bisa diputarbalikkan begitu saja. Meski sudah cukup kebal dengan perkataan orang, ia juga sudah enggan mendengar omongan, "Istri dari suami yang gila itu..." Runtutan kesialan sepertinya terus saja hadir pada dirinya. Ia tak ingin menambah beban pertanyaan "Sejak kapan?" Namun kepalanya tak bisa begitu saja melupakan malam dimana seluruh karya suaminya dibakar habis sekelompok manusia yang mengaku berseberangan idealisme politik dengannya. Pukulan itu berhasil membuatnya gila. Sejak malam itu, hidupnya sudah tak lagi sama. Luka itu tak ia ketahui apakah akan sembuh. Sebaiknya kau berhenti menanyakan "Sejak kapan?" padanya seperti itu. 



*Ditulis untuk proyek menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #1

No comments:

Post a Comment