Pages

Tuesday, April 7, 2015

Tukang Kayu dan Genting Kaca

"Sudah sejauh apa?"


Hari ini ulang tahunnya yang ke delapan puluh. Kursi goyang itu perlahan terus bergerak. Laki-laki dengan sweater abu itu menatap langit dari balik genting transparan lebar. Tak peduli siang atau malam, ia terus menatap genting kaca itu. Entah untuk menatap burung-burung pulang, atau langit yang sebegitu saja tak pernah memberinya jawaban.

*** 

Tiga Belas

Bagaimana jika ayunan di bawah pohon? Kau bisa menghabiskan siangmu dengan membaca buku, mengobrol denganku, dan bermain ayunan bersama. Aku akan mendorongmu, kau akan berayun di atasnya dengan gembira. Menikmati embus angin menerpa wajah, dan ayunan kencang yang membuat isi perutmu serasa terbang.

***

Dua Puluh Dua

Desain rumah untuk anjingmu sudah jadi. Bayangkan, di musim panas dan angin semilir, ketika kita bersama nanti, akan ada rumah besar dengan taman yang leluasa untuk anak-anak berlarian dengan anjing-anjing kesayangan.

***

Empat Puluh Delapan

Ini memang sedikit terlambat. Tapi akan ada saatnya kita akan mempunyai pondokan di hari tua nanti. Sebuah pondokan dari kayu mahoni di tepi pantai, dimana kita habiskan masa liburan bersama. Oh, coba bayangkan, kau bahkan bisa menyaksikan matahari terbenam di pantulan oranye air laut.

*** 


"Sudah sejauh apa aku mewujudkan keinginannya?" tanyanya sekali lagi.

Pemuda itu hanya diam. Ia tak tahu mesti berkata apa pada kawan tuanya. Mendengar kisah yang sama setiap hari cukup membuatnya bosan, namun kawan tuanya bukan hanya seorang tukang kayu. Ia juga seorang pencerita jagoan. Selalu ada yang baru dari kisah awal, layaknya bawang yang dikelupas kulitnya secara perlahan. Ini kisah tentang perjalanan seorang pria yang ingin membahagiakan wanitanya sepanjang hidupnya, dari tahun ke tahun. 

Sang pemuda tak sebegitu teganya untuk memberikan jawaban. Bukannya ingin diam. Ia bahkan tak tahu bagaimana cara mengatakan bahwa kawan tuanya hanya mampu membangun pondokan kecil dengan genting kaca lebar. Sementara sang wanita memiliki hidupnya sendiri, tak pernah benar-benar bersamanya selama delapan puluh tahun ini.

Meski selalu dalam penantian, sesungguhnya pria tua itu bahkan tak pernah memulainya.




*Ditulis untuk sesi menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #2

No comments:

Post a Comment