Pages

Tuesday, May 26, 2015

Musim Semi dan Alunan Debussy : French Spring Concert String Orchestra of Surabaya

Jika bukan karena Teh Irma, responsable pedagogique dari IFI Surabaya yang mengatakan di grup chat kami bahwa ia sedang menerjemahkan informasi mengenai acara Printemps Francaise ke Bahasa Indonesia, mungkin kami tak akan ribut. Sebelumnya, ketika mengetahui bahwa IFI Surabaya akan mengadakan rangkaian acara Printemps Francais, saya langsung 'memburu' program-program musik klasik yang disajikan IFI. Salah satunya program yang akan dibawakan oleh String Orchestra of Surabaya, 18 Mei 2015.

Begitu tiba sekitar empat puluh lima menit sebelum acara dimulai, sejumlah audiens sudah berkumpul di depan ballroom Sheraton. Terlihat juga tim dari IFI yang sedang sibuk menemui tamu, maupun menyambut di meja registrasi. Setelah sesaat menunggu partner nonton yang masih belum menjejak Sheraton juga, saya memilih untuk masuk terlebih dahulu. Tujuannya sama seperti audiens yang lain, sebisa mungkin untuk mendapat seat paling depan.

Bertekad datang tepat saat open gate, saya berhasil mendapatkan seat baris pertama untuk audiens umum (baris ketiga setelah dua baris pertama diisi khusus tamu-tamu undangan). Saya duduk manis sembari menunggu partner nonton kali ini saya datang. Booklet program hanya satu lembar, saya menyisir daftarnya. Debussy, Offenbach, Bizet, Charpentier. Di deretan pemain, saya menangkap beberapa nama yang sudah tak asing : Finna Kurniawati, Shienny Kurniawati, juga keluarga musik Celine Liviani Tandiono dan Felicia Liviani Tandiono.

Secara umum, acara ini banyak diminati. Terlalu sibuk dengan booklet, tanpa saya sadari, dalam waktu singkat, kursi-kursi terpenuhi hingga bangku paling belakang. Keputusan tepat untuk hadir begitu open gate dilaksanakan. Acara dibuka dengan sambutan dari pihak Sheraton dan IFI Surabaya. Veronique Mathelin, direktur IFI Surabaya memberi kejutan dengan membacakan sambutan dalam Bahasa Indonesia yang cukup baik. Ada aura kesedihan yang mengambang tiba-tiba ketika di dalam sambutan tersebutkan nama Alm. Bapak Slamet Abdul Sjukur. Saya mendapat jawaban tentang apa yang saya cari-cari di bangku depan sejak awal. Di acara musik klasik, terutama yang berhubungan dengan Prancis, saya selalu bisa menemukan Pak Slamet duduk di antara undangan di bangku depan. Di antara break program atau di akhir acara, biasanya saya menghampiri beliau dan menyapa. Di konser kali ini, saya baru menyadari, saya tak bisa melakukannya lagi.

String Orchestra of Surabaya (SOOS) membuat saya heran, karena di atas panggung hanya terlihat sebuah grand piano hitam dengan dua kursi kosong. Trio? Ternyata dugaan saya dijawab oleh booklet program yang menampilkan komposisi Trois Pieces pour Violon, Violoncelle et Piano op.54. Ya, dihadapan, Angela Soegito, Finna Kurniawati and Novia Devita menampilkan komposisi musik kamar dari Rene de Boisdeffre (1838-1906), komposer abad ke-19 penerima penghargaan untuk musik kamarnya. Nuansa elegan dari komposisi tersebut dimainkan dengan baik oleh ketiga pemusik. Layaknya movement seperti biasanya, nomor-nomor yang ditampilkan cenderung pendek. Sangat terlihat, Finna Kurniawati memegang kendali dalam upaya mewujudkan keselarasan permainan. Ia bermain dengan sangat dewasa. Begitupun dengan Angelia dan Novia, mereka tampak menikmati komposisi tanpa perlu memaksakan diri untuk 'bervirtuoso' ria.

Secara general, 'gangguan' ala konser pada umumnya hanya tampak sedikit kali ini. Namun masih ada bunyi shutter camera, audiens yang sengaja batuk di waktu yang tidak tepat, ponsel yang berbunyi, khusus untuk saya, ada gangguan sepasang muda-mudi yang ngobrol berbisik pada saat komposisi dimainkan. Saya kembali mesti mengatakan dan mencoba meyakinkan diri bahwa hal itu adalah proses pendewasaan penonton.

Mari nikmati kembali komposisi kedua : Allegro Appasionato op. 43. Tentu komposisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi sang pemain Cello. Ia mesti menerjemahkan dan menghadirkan maksud Saint-Saens untuk menciptakan komposisi yang senatural mungkin, selayaknya pohon apel menghasilkan buah apel. Dituntut untuk bermain dengan tempo cepat dan menampilkan virtuoso, tentunya komposisi ini cukup menguras tenaga. Dinamika wajib hadir, melodi rapat digeber, plus kekompakan dengan pianist. Novia Devita bermain baik di komposisi ini. Hanya saja mungkin ada energi yang kurang tersampaikan, mengingat ukuran ruang yang cukup besar.

La Capricieuse op 17 milik Edward Elgar, komposer Inggris, berganti menampilkan kembali Finna Kurniawati dan Angelia Soegito. Dengan bunyi violin yang dominan, Finna Kurniawati tampil memimpin di komposisi post-romantic ini. Secara personal, saya suka gerak-gerik setiap kali Finna Kurniawati memainkan komposisi. Dalam komposisi ini, Finna berhasil menampilkan running-running melodi dengan hidup, ekspresif, namun dewasa. Komposisi ini sukses hadir dengan staccato-staccato yang menyenangkan.

Ketika break program, saya memilih untuk tetap di tempat. Selain bisa mengobrol kecil dengan partner nonton, saya juga penasaran untuk menoleh pada muda-mudi yang berbisik-bisik di belakang sejak tadi. Terangnya lampu membuat kami sadar, semenjak komposisi awal dimainkan, lampu audiens dibiarkan tetap terang, sehingga mengurangi penciptaan suasana. Syukurlah hal yang sama tidak terjadi pada komposisi-komposisi yang dimainkan setelah break. Empat komposisi yang tersisa dimainkan dalam formasi 19 pemain orchestra.  

Komposisi zaman Barok, Concert Pour quatre parties de violes H. 545 milik Marc-Antoine Charpentier menjadi pembuka. Komposisi ini terdiri dari cukup banyak bagian atau movements yang pendek-pendek. Finna Kurniawati memimpin chamber music dengan baik, selain dirinya juga memainkan violin. Nuansa zaman Barok terasa. Agak saya sayangkan, di antara movements masih ada tepuk tangan dari penonton. Mestinya memang applause diberikan di akhir keselutuhan komposisi. Di komposisi ini tidak ada running-running notes yang terlalu berlebihan. Cukup untuk memberikan imajinasi pada audiens tentang pedansa-pedansa di masa Barok. 

Setelah diberi alunan dansa Barok yang 'mudah ditebak', audiens dilempar beberapa ratus tahun ke depan dengan emosi yang lebih 'rumit'. Debussy dihadirkan di panggung musim semi dengan nada-nada lincah Golliwogg's Cake-Walk from Children's Corner. Melodi-melodi awal yang khas tersebut cukup menarik minat. Komposisi yang sejatinya diperuntukkan untuk solo piano ini menarik seakan penonton sedang dibawa ke nuansa lincahnya anak-anak ketika bermain, meski dari sudut pandang orang dewasa. Debussy mendedikasikan komposisi ini untuk Claude-Emma, putrinya, yang sayangnya meninggal karena difteri pada usia belia, setahun setelah kematian ayahnya.

Dua komposisi terakhir seakan dipilih agar menjadi penutup yang mengena. Kedua komposisinya cukup familiar di telinga audiens dibanding komposisi-komposisi yang lain.

Jika bisa dikatakan, komposisi yang sangat populer milik Jacques Offenbach, Orpheus in the Underworld menjadi klimaks acara. Audiens merasa familiar dengan komposisi riang ini karena kerap menjadi back sound dari berbagai film animasi. Komposisi pendek yang gembira dan menyenangkan ini berhasil menciptakan suasana berbeda. Diciptakan untuk kepentingan opera, maka komposisi ini terasa 'ringan dan mudah diterima'. hingga mampu menghasilkan applause paling meriah di antara komposisi lainnya. 

Mari berpetualang ke Bizet. dengan Melodies from Carmen Opera. SOOS menyampaikan dinamika dengan baik. Harmoni juga begitu jelas. Nada-nada riang di awal, kemudian berubah menjadi harmoni-harmoni yang lebih 'gelap' dan tenang. Secara keseluruhan komposisi ini menggambarkan kisah opera kehidupan kaum proletar dan sifat manusia yang tak bermoral. Komposisi untuk opera ini hidup dengan baik di tangan SOOS. 

Saya secara pribadi menyukai pilihan komposisi untuk program kali ini. Seakan hadirin memang disajikan deretan virtuoso yang menarik, dengan waktu masing-masing komposisi yang tidak terlalu panjang. Peletakan dua komposisi yang lebih familiar di telinga masyarakat umum juga cukup menarik. Sama seperti menyambut harapan dan bunga bermekaran, Bienvenue, Printemps Francais! J


-         Nabila Budayana - 

No comments:

Post a Comment