Pages

Sunday, April 2, 2017

Terus Hidup : Slamet dalam Karya, Laku, dan Ilmu

Slamet Abdul Sjukur, komponis musik kontemporer Indonesia, masih pekat dalam kenangan. Mengenang dua tahun kepergiannya, delapan kota di Indonesia mengadakan pertemuan di waktu yang berdekatan. Jogjakarta, Surabaya, Papua, Jakarta, Bogor, Pontianak, Padang Panjang, dan Bandung. 


"Slamet dalam Karya, Laku, dan Ilmu" terwujud 27 Maret 2017 lalu. Di sekitar panggung kecil di Warung Mbah Cokro Surabaya, berkumpul murid-murid, sahabat, bahkan yang belum sempat mengenal beliau. Acara dibuka dengan dibacakannya catatan Gema Swaratyagita, murid Slamet, tentang perayaan Sluman Slumun Slamet,79 tahun usia Slamet Abdul Sjukur 2014 lalu yang sempat digelar di tiga kota. Gema bercerita tentang beberapa hal kecil yang menarik. Salah satunya pengalaman menelusuri teka-teki berapa usia Slamet sesungguhnya demi perhelatan tersebut. Juga cerita tentang beliau yang mencuri usia demi untuk mendaftar beasiswa ke Prancis, hingga bagaimana inspirasi yang datang dari seorang Slamet bisa membekas di benak banyak orang hingga kini. Gema juga mengungkap kesannya tentang hari-hari menjelang Slamet berpulang. Beliau selalu berkata "Besok (saya) mati." setiap kali murid dan rekannya merencanakan suatu hal untuk beliau.

Pemilik warung Mbah Cokro, Zurqoni mengajak hadirin mengenang sejenak dan mengucap doa untuk Slamet. Dalam hening, baru terasa betapa banyak orang yang masih membutuhkan Slamet hingga saat ini. Menggugah ingatan kembali, diputarkan juga video tentang ucapan selamat ulang tahun dari sahabat-sahabat Slamet di peringatan Sluman Slumun Slamet. Tentang betapa Slamet meninggalkan beragam kesan pada orang-orang terdekatnya.

Foto oleh : Adrea Kristatiani

Yang menarik, tampaknya seorang Slamet Abdul Sjukur juga mempunyai kedalaman dan sisi yang tak banyak diketahui orang lain. Banyak pengakuan yang terlontar dari murid dan rekannya, bahwa mereka merasa tak begitu mengenal Slamet, dan menduga orang lain mengenal beliau lebih baik. Menandakan bahwa Slamet begitu rendah hati dan tak ingin memamerkan dirinya pada orang lain. 

Beranjak pada ilmu SAS, sebuah video membawa ingatan kembali pada ilmu-ilmu yang dibagikan Slamet, salah satunya program Kukiko, sebuah workshop mencipta komposisi musik yang dibimbing langsung oleh Slamet. Dalam video, sosok Slamet tampak menciptakan suasana cair dan santai, namun tetap berkualitas. Pada puluhan anak muda, beliau menyampaikan tentang pentingnya memaksimalkan ingatan, kepekaan, dan kebebasan berekspresi dalam mencipta komposisi. Slamet juga seorang yang eksperimental. Dalam membuat komposisi, beliau menekankan jika komponis mesti menyisihkaan sesuatu yang sifatnya rutin. Terlihat SAS bukan hanya mengajarkan hal-hal teknis, namun juga mengajarkan karakter dan kepekaan sebagai manusia melalui musik.

Foto oleh : Adrea Kristatiani

Memvisualkan ingatan kembali tentang karya Slamet, malam itu juga diputarkan video dua karya yang dimainkan langsung oleh SAS di panggung Sluman Slumun Slamet di Surabaya. Gelandangan yang diciptakan di tahun 1998, dan Kabut yang dicipitakan menjelang keberangkatan SAS ke Prancis di tahun 1960. Kedunya dibawakan oleh sang empunya komposisi sendiri bersama Ika Sri Wahyuningsih dan Gema Swaratyagita. 

Dalam sesi berbincang, Joko Porong sebagai murid SAS merasakan berbagai pengalaman yang tak terlupakan tentang beliau. Salah satunya ucapan "Kalau bernafas jangan membuat berisik orang lain." yang disampaikan oleh SAS di pertemuan pertama perkuliahan. Kesan nyentrik Slamet begitu membekas pada ingatan Joko. Meski begitu, dengan karakter beliau yang sederhana, Joko Porong juga menduga seorang SAS mungkin tak suka dirayakan kematiannya. Namun spirit SAS untuk mengubah teks kehidupan menjadi elemen musikal tetap tak tergantikan dan meninggalkan kekaguman tersendiri. Lini Natalini, Oke Kawooan, dan Pak Wie turut memberikan cerita tentang bagaimana mereka bersinggungan dengan sang komponis.

Foto oleh : Adrea Kristatiani

Mengantar audiens beranjak, Gema Swaratyagita, Joko Porong, Evie Destiana, dan Kidung Kelana menampilkan Kabut ciptaan SAS, ditemani deklamasi dari Totenk Masduki dan Syarif Wajabae. Di balik betapa heningnya musik yang diciptakan Slamet, deklamasi itu menggelegar, seakan bersama menghadirkan kembali SAS yang memilih menempuh jalan sunyi, namun besar dalam karya.  

30 Juni 1935 hingga 24 Maret 2015 masih terasa terlalu singkat untuk rentang hidup seorang dengan jiwa besar berdedikasi. Namun beliau tak pernah mati. Slamet Abdul Sjukur sejatinya terus hidup. Hidup dalam hati, kepala, dan jiwa setiap yang tergerak, terinspirasi diri dan karyanya.

Foto : dokumentasi Adrea Kristatiani