Pages

Wednesday, September 20, 2017

Pour L'amour de La Musique : Sajian Piano, Cello, dan Flute

Empat pemuda-pemudi menggemakan musik di aula Wisma Musik Melodia Surabaya 29 Agustus 2017 lalu. Melalui konser bertajuk Pour L'amour de La Musique, Felix Justin (piano), Jonathan Inkiriwang (piano), Jessica Jordanius (cello), dan Satryo Budi Gunawan (flute) hadir menyajikan musik mereka.

Konser dibuka dengan melodi yang menyenangkan dari Haydn Trio in D Major dibawakan oleh Jonathan, Satryo, dan Jessica. Terdiri dari tiga movement, Allegro, Andantino Piuttosto Allegretto, dan Vivace Assai, ketiga musisi cukup kompak melewati tantangan lagu. Running yang repetitif tak membuat kedodoran pada piano. Namun flute terdengar agak longgar di awal. Audiens dibawa ke tempo yang lebih lambat dan tenang kemudian. Di bagian akhir, stamina dan konsistensi pemain diuji dengan not yang semakin rapat dan cepat. Satryo terlihat memimpin dengan tetap sabar mengurai frase. Secara keseluruhan, Jonathan terasa agak tegang dalam menyampaikan pesan lagu, namun Jessica dan Satryo mampu mengimbangi dengan dewasa. 

Audiens dibawa ke Ballade milik Ch. Lefebvre. Alunan yang tenang ini dibuka dengan banyak bagian solo dari flute. Komposisi yang tak terlalu panjang ini menarik pada bagian solo cello. Jessica mengisi ruangnya dengan sangat baik. Meski pada bagian akhir flute terdengar agak longgar, namun trio ini cukup berhasil menghadirkan nuansa ballad pada audiens.

Sebelum Felix Justin hadir, Satryo beramah-tamah dengan audiens dengan bagaimana lokasi di mana mereka bermain memiliki kenangan tersendiri, bagaimana sekolah musik itu banyak berarti bagi karier bermusik mereka saat ini. Beberapa dari penampil malam itu memulai perjalanan dunia musiknya dengan belajar pada pengajar senior di Melodia. 

Foto : Dokumentasi Satryo Budi Gunawan

Felix Justin tampil dengan Prelude op.23 no.4 milik Rachmaninoff. Dengan berbagai pujian pada Felix tentang prestasi bermusiknya, tentu ekspektasi audiens dijunjung tinggi. Felix bermain dengan rapi dan tenang sejak not pertama. Dinamika yang terasa dan transisi yang halus menunjukkan kontrol yang prima. Felix berhasil menggambarkan cantiknya struktur komposisi ini dengan harmoni dan melodi yang disampaikan baik. Penjiwaan yang mumpuni juga berhasil membuat komposisi ini terasa menyentuh dengan emosi yang tepat. 

Berlanjut Scherzo op.39 no.3 milik Chopin, Felix menghadirkan mood yang berbeda jauh dengan komposisi sebelumnya. Ketenangan Rachmaninoff langsung digantikan dengan melodi yang gelap namun grande dari Chopin. Komposisi ini menggambarkan kondisi emosi gelap ketika Chopin menyusunnya di dalam penjara. Terdengar rumit dan dinamika yang kerap cepat berubah, transisi terasa sangat mulus di tangan Felix. Tekstur yang rapi, forte yang menggetarkan, dan nuansa grande yang tersampaikan membuat rumitnya Chopin terasa menjadi pesan yang mudah dicerna dan dirasakan. Amarah dan kepedihan juga sampai pada audiens. Felix tampil dengan luar biasa baik. 

Ditutup dengan Adagio Variation et Rondo milik Johann Nepomuk Hummel, Felix, Satryo, dan Jessica mengantarkan audiens pada sebuah ketenangan. Setelah disuguhkan tampilan solo yang cantik dari Felix, di komposisi ini Felix tampak "mundur" dengan memposisikan dirinya sama rata pada trio. Kekompakan antar penampil tampak cukup baik, dan perpindahan mood tersajikan dengan mulus. Hanya saja flute terasa longgar di beberapa bagian.   

Secara keseluruhan, tampilan ini menghibur dengan pemilihan daftar komposisi yang dimainkan, beserta penyajian yang menarik dari para penampil.   

Thursday, September 14, 2017

Lantun dan Denting : Resital Klarinet dan Piano

Kembali mengenali dan tampil di tanah sendiri menjadi tantangan bagi pianis muda, Danang Dirhamsyah. Mahasiswa musik di Jerman yang sedang menyelesaikan pendidikan master-nya ini kembali tampil di negeri sendiri setelah lima tahun. Membawa rekannya asal Lithuania, Ugne Varanauskaite (Klarinet), bersama Pertemuan Musik mereka menyapa publik Surabaya melalui Resital Klarinet dan Piano di 28 Agustus 2017 lalu. Selain mengadakan pertunjukan, mereka juga memberikan masterclass untuk piano dan klarinet di kampus UNESA tanggal 29 Agustus 2017.

Tampil dengan kostum senada, Dagna dan Ugne membuka pertunjukan dengan Camille Saint-Saens -Sonata Clarinet op. 167. Menghadirkan empat movement, Danang dan Ugne berkolaborasi. Pada Allegretto, movement pertama, dihadirkan nuansa legato yang tenang. Masih ada keseruan dinamika yang bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh Danang dan Ugne. Di movement kedua, Allegro animato komposisi mulai menuntut dengan kerapatan not yang rancak. Kemampuan Ugne diuji dalam hal kerapian frase. Lento di movement ketiga membawa audiens dalam nuansa kelam dan minor. Di Molto Allegro, dinamika pun dinaikkan di bagian menjelang akhir dengan banyak running notes yang menuntut kekompakan antar pemain. Repertoar ini ditutup dengan kembali ke ketenangan serupa di awal. Danang dan Ugne bisa memberikan chemistry dan pesan yang lebih baik di awal pertunjukan, agar komposisi ini tersampaikan secara dramatis.

Audiens diajak mundur seratus tahun dari komposisi sebelumnya di kesempatan kedua. Danang menghadirkan Piano Sonata A flat major op. 110 milik Beethoven. Komposisi ini merupakan rangkaian tiga sonata piano karya Beethoven yang terinspirasi kisah tragedi Yunani kuno. Menurut Danang yang memberikan pengantar sebelum komposisi ini dimainkan, karya ini memiliki keunikan dengan penitikberatan komposisi di bagian akhir. Dibuka dengan ketenangan dengan kerapatan not, thrill yang dihasilkan Danang rapi. Dinamika yang dibawakannya pun cukup tersampaikan. Komposisi panjang ini memberikan beban pada pemain untuk melawan kemonotonan. Danang melewatinya dengan cukup baik.

Foto : Dokumentasi Pertemuan Musik


Setelah jeda, Ugne mengambil alih panggung dengan memainkan Three Pieces untuk Klarinet tunggal milik Stravinsky. Karya ini menunjukkan posibilitas bunyi yang dapat dihasilkan dari klarinet, dengan menunjukkan nuansa hangat maupun dingin dari lantunan sebuah klarinet. Movement pertama dibuka dengan kelembutan yang bercerita. Tak panjang, movement kedua sangat berbeda. Not yang rapat sering hadir dengan lincah, menceritakan tentang kucing dan burung yang bermain bersama. Di bagian akhir, Ugne mengganti klarinetnya untuk mencapai not-not tinggi. Bagian akhir yang bertempo cepat dan terkesan rumit ini menjadi klimaks dari komposisi. Ugne ditantang untuk menjaga konsistensi staminanya agar karya ini terdengar lebih rapi.  

Tetap membawa semangat Indonesia di antara karyanya, Danang dan Ugne juga menyajikan Derau Hening karya Gema Swaratyagita. Karya kontemporer ini diciptakan Gema karena terinspirasi oleh sebuah kota kecil di Jerman, Lubeck. Karya yang diciptakan khusus untuk duet piano dan klarinet, Danang dan Ugne ini mencoba menggambarkan keheningan dengan riuh perkotaan yang menyelip. Pada komposisi ini, Danang dan Ugne seakan membawa mood penonton kembali. Banyak yang berbeda dari karya ini. Dinamika yang naik turun dengan nuansa kelam yang ganjil, klarinet yang dimainkan tanpa melodi, sehingga seakan menggambarkan desau angin yang berembus. Ugne juga kerap memukul pelan tubuh klarinet sebagai bentuk suara baru. Komposisi ini menghadirkan kisah melalui bunyi yang ditampilkan. Meski terinspirasi dari kota di Eropa, namun terasa ada nuansa Indonesia dari pemilihan melodi serupa pelog yang dibawakan Danang. Sepi yang melelahkan bukan hanya tergambar dari bunyi yang dihasilkan alat musik, namun juga hela napas dari para pemain yang menutup komposisi ini.

Pada Ballade op.10 milik Brahms, Danang tampil dengan lebih lepas pada komposisi ini. Karya ini terinspirasi oleh sebuah puisi Jerman yang membawa kisah sebuah perbincangan antara ibu dan anaknya. Sang ibu menanyakan mengapa pisau milik sang anak berlumuran cairan merah. Konflik memuncak ketika sang ibu tahu bahwa itu bukanlah darah hasil buruan, namun darah dari sang ayah sendiri. Karakter masing-masing fase adegan dipindahkan Brahms pada tiga buah tema di No.1 D Minor. Tentang sang ibu, anak, dan nuansa dramatis dari dialog mereka. Sedangkan pada No.2 D Mayor ditampilkan dengan lebih tenang. Hentakan pertama seakan sudah berkisah tentang ketegasan. Perlahan dinamika dibawa naik, dengan nuansa gelap yang menegangkan. Danang membawa audiens pada sebuah bisikan dan rahasia. Frase-frase Danang terdengar rapi, sehingga nuansa dan pesan tersampaikan.

Dance prelude untuk klarinet dan piano Lutoslawski. Komposisi yang menjadi karya berbau musik tradisional Polandia terakhir dari sang komposer ini menarik. Begitu dimulai, audiens langsung disambut dengan pilihan-pilihan melodi khas Polandia yang bertempo cepat. Tak lama, movement kedua menyajikan nuansa kontemporer yang kelam dan misterius. Beralih ke movement ketiga Allegro giocoso, audiens dibawa pada tempo yang cepat. Kekompakan dan kemampuan teknis personal dari masing-masing instrumen sangat dibutuhkan. Andante menjadi movement berikutnya. Seakan mengendap dengan not yang jarang dan tenang, sang penari memperlambat geraknya. Allegro Molto menjadi penutup yang rapat dan cepat. Komposisi ini mengharapkan artikulasi yang jelas untuk menyampaikan kalimat-kalimatnya dengan jernih.

Duet muda ini membawa kesegaran pada publik Surabaya karena tak banyak hadir duet piano dan klarinet dalam panggung-panggung pertunjukan. Danang dan Ugne memberi sebuah tampilan yang jujur dan menunjukkan semangat berkembang yang tinggi.


  

Sunday, September 3, 2017

Lantunan Cinta dari Belanda : Uit Utrecht met Liefde

Mendalami musik dari tiga konservatori yang berbeda, Felix Justin (piano), Satriya Krisna (Tenor), dan Marlina Deasy Hartanto (Soprano) bertemu dan menemukan keinginan yang sama untuk menggelar pertunjukan bersama ketika berada di Utrecht. Membawa musik dan cinta dari negeri Belanda, ketiganya mengunjungi Surabaya di 15 Agustus 2017 lalu untuk pertunjukan bertajuk "Uit Utrecht met Liefde" (From Utrecht with Love).

Malam itu Gedung pertunjukan Cak Durasim cukup penuh. Melihat bagaimana di saat bersamaan, publik Surabaya juga disuguhkan konser kolaborasi Worldship Orchestra, Amadeus Orchestra, dan Airlangga Orchestra di tempat berbeda, animo penonton dalam menanggapi cinta trio anak bangsa Felix, Deasy, dan Satriya terhitung sangat bagus.

Meski dimulai cukup larut daripada biasanya, namun konser tak begitu saja dimulai. Di bagian awal, para penampil dipandu Patrisna May Widuri menyapa hangat audiens dan memberikan sedikit pengantar terkait karier yang sedang mereka jalani, juga tentang beberapa karya yang akan mereka tampilkan.

Foto : Dokumentasi Amadeus


Tiga anak muda ini membawa banyak prestasi dari kemampuan bermusik mereka. Satriya, misalnya. Ia baru saja lolos sebagai peserta pertama yang mewakili Indonesia di sebuah kompetisi vokal bergengsi di Swiss. Ia sibuk mengunjungi berbagai negara untuk mengikuti bermacam ajang. Felix yang baru saja lulus dengan nilai sempurna untuk pendidikan master-nya membentuk trio musik kamar, dan aktif di Samsakta Duo dengan Satriya Krisna. Felix pun tak lelah mengikuti berbagai kompetisi. Sedangkan Deasy sedang mengupayakan pendidikan musik untuk balita yang ia kembangkan di Jakarta.

Di Uit Utrecht met Liefde, mereka bertiga sepakat untuk membawakan komposisi-komposisi yang jarang diperdengarkan di ruang-ruang konser di Indonesia. Jika membaca sekilas daftarnya, komposisi yang mereka mainkan sangat banyak dan padat. Termasuk salah satunya "Pictures at an Exhibition" milik Modest Mussorgsky yang sangat jarang dimainkan secara utuh karena panjang komposisinya.

Konser ini terasa ramah pada audiens karena hampir setiap kali komposisi akan dimainkan, penampil memberikan panduan tentang isi karya. Dibagi menjadi empat bagian, bagian pertama diisi dengan komposisi-komposisi pendek. Bermula dari Als Luise die Briefe milik Mozart, Deasy yang manis ketika berbicara langsung berubah menjadi penuh amarah dengan suara soprannya. Sesaat, Deasy menjadi seorang kekasih yang dikhianati kekasihnya. Sementara Felix rapi dan tenang dalam menyajikan komposisi mengiringi Deasy. Disusul dengan Du Meines Herzens Kronelein dan Das Rosenband baik Felix maupun Deasy menunjukkan stamina yang bagus. Akhir babak pertama ditutup dengan Romance milik Debussy.

Foto : Dokumentasi Amadeus


Babak kedua menjadi ruang bagi Felix untuk mengajak audiens menjelajah galeri lukisan. Karya ini didekasikan Mussorgsky untuk sahabatnya, Viktor Hartmann yang merupakan seorang seniman, arsitek, dan desainer. Melalui sepuluh sub-karya pendek ditambah dengan pengulangan dan variasi pola Promenade, pengalaman indera penglihatan ketika memandang berbagai jenis lukisan dipindahkan pada gema di ruang konser oleh Felix. Bermacam tema diperdengarkan. Derap-derap zaman romantik Rusia milik Mussorgky pun terasa melalui tema awal Promenade. Kesenangan berjalan mengitari galeri, hingga kesedihan seseorang dalam mengingat sahabatnya. Dalam Gnomus, digambarkan gnome yang mengendap hingga berlari cepat dengan kaki bengkoknya. Audiens dikembalikan sesaat ke variasi promenade sebelum ke kemisteriusan panjang dari kastil tua melalui Il Vecchio Castello. Dinamika dinaikkan kemudian dengan hentakan dari versi forte Promenade. Audiens kemudian disuguhkan langkah kecil dari kaki anak-anak melalui staccato dari Tuileries.

Bydlo langsung hadir mengejutkan dengan fortissimo hingga berujung pianissimo sebagai penggambaran deru kereta kuda. Suguhan kembali pada promenade yang kali ini bernuansa gelap. Sesaat kemudian audiens langsung dibawa ke Balet Nevylupivshikhsya Ptentsov yang lincah, dan menggambarkan kekacauan khas anak-anak. Secara tiba-tiba, audiens diboyong ke persahabatan dua orang yahudi miskin dan kaya, Samuel Goldenberg and Schmuyle, nuansa ketegangan yang dihadirkan bagai berkisah tentang jurang sosial yang memisahkan dua sahabat ini.

Dikembalikan ke variasi Promenade yang ceria dan grande, keributan di pasar Limoges le Marche menyusul. Melodi yang padat sesuai dengan riuhnya warna pada lukisan yang menggambarkannya. Catacombs menghadirkan suasana bawah tanah Paris yang kelam dan kadang menyimpan kepedihan. Nuansa perkabungan diperdengarkan melalui Promenade : Con Mortuis in Lingua Morta. Dinamika ditarik naik dengan not-not rapat dari Izahbuska Na Kur'ikh Nozhkakh yang berkisah tentang kejam dan gelapnya penyihir Baba Yaga yang menelan anak-anak. Ketegangan ketika memburu korban tergambarkan.

Komposisi panjang ini ditutup dengan Bogatyrskie Vorota yang mengingatkan pada dering lonceng, dan ketegapan prajurit. Ditutup dengan hentakan, Felix mendapat apresiasi positif untuk stamina dan keberaniannya menawarkan komposisi panjang ini pada audiens. Felix terdengar sangat rapi dan detail, namun audiens bisa mendapatkan kesan yang lebih dramatis dari tampilan ini.

Foto : Dokumentasi Amadeus



Babak ketiga menjadi milik Samsakta Duo, tenor dan piano oleh Satriya dan Felix. Membawakan Der Kuss karya Beethoven, nuansa lincah dihadirkan. Komposisi pendek ini berkisah tentang kisah seorang lelaki yang ingin mencium kekasihnya. Satriya tampil dengan lepas dan gerak tubuh yang ekspresif. Dinamika dari cerita pun tersampaikan. Tampilan ini berhasil menghadirkan senyum di antara audiens. 

Bertolak belakang dengan komposisi sebelumnya, membawakan karya Nachtstuck D.672 milik Schubert tentang kematian yang indah, dikisahkan, sang tokoh, seorang kakek tua memainkan harpa dan menyanyi hingga kemudian kematian menjemputnya. Dibuka dengan perlahan, sederhana dan tenang, nuansa minor pun seketika menyergap. Harmoni yang disajikan Satriya dan Felix pun terasa kelam, bijaksana, dan sangat menyentuh.

Ketegasan dan amarah hadir kemudian melalui Le Manoir de Rosemonde milik Henri Duparc. Yang kemudian dilanjutkan dengan ketenangan dan kelembutan dari Sanglots from Banalites karya Poulenc yang terasa indah sekaligus muram. Felix dan Satriya kemudian menyajikan I Heard You Singing karya Eric Coates dengan sangat cantik. Mereka berhasil menyampaikan nuansa romantis dan elegan yang menyentuh. Spring Waters Rachmaninov yang menggambarkan tentang antusiasme menyambut datangnya musim semi menjadi penutup untuk babak ketiga. Felix dan Satriya terasa matang dan padu dalam berduet.

Foto : Dokumentasi Amadeus


Seakan mengantarkan audiens sebelum usai, di bagian terakhir, Felix, Satriya, dan Deasy bergantian menyajikan trio dan duo. Pada In der Nacht milik Schumann, ketiga penampil hadir. Enggan membiarkan berlalu dengan biasa, Deasy dan Satriya bermain-main dengan ekspresi dan gerak tubuh serupa opera sebagai pemanja visual.

Deasy dan Felix kemudian membawakan Che Fieromomento dari opera OrfeoedEuridice karya Christoph W. Gluck menghadirkan emosi yang berbeda. Deh Vieni dari opera Le nozze di Figaro menjadi suguhan berikutnya. Deasy tampak mulai bermain dengan gerak tubuhnya. Menggantikan Deasy, Satriya dan Felix hadir dengan komposisi Kuda, kuda vi udalilis dari opera Eugene Onegin karya Tchaikovsky. Satriya seakan hadir dengan menantang audiens dengan pertanyaan. Deasy dan Felix kembali dengan Ah non credea dari opera La Sonambula milik Bellini. Komposisi ini menjadi ajang Deasy untuk menunjukkan teknik vokalnya melalui dinamisnya alur lagu. Ditutup dengan Amor ti vieta dari opera Fedora milik Giordano, Satriya dan Felix memberikan sebuah akhir yang mengesankan. Meski bersahutan, keduanya kompak dari segi timing dan harmoni sehingga komposisi tersampaikan dengan sangat mengalir dan melahirkan tepuk tangan meriah.


Foto : Dokumentasi Amadeus


Ikatan musikal yang lebih kuat antara Satriya dan Felix membuat bagian duo menjadi lebih solid daripada trio. Penampilan yang nyaman dan lepas selalu bekerja untuk menyampaikan pesan, membangun suasana, dan estetika musikal. 

Satriya, Felix, dan Deasy sepakat membawa musik kali ini bukan hanya sebagai pertunjukan yang melahirkan tepuk tangan, namun juga untuk memberi inspirasi baru pada audiens untuk membawa kecintaan dan kemampuan bermusiknya pada dunia, serta memperdengarkan wawasan musik baru pada publik pencinta musik Indonesia.  

Foto : Dokumentasi Amadeus